Berkenaan dengan diskursus tentang Ahlussunnah maka saya akan mengutip beberapa literatur yang menjelaskan tentang apa dan siapa sebenarnya yang menyandang Aliran Ahlussunah dalam perspektif sejarah pemikiran Ilmu kalam atau Teologi Islam.
Arti Ahlussunnah ialah penganut Sunnah Nabi. Arti wal jama’ah ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Kaum ahlussunah wal Jam’ah ialah kaum yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad nabi SAW dan sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapid an teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H.- wafat di Basrah juga tahun 324 H. dalam Usia 64 tahun)
Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal jama’ah dengan kaum ‘asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan ‘Ali Al Asy’ari tersebut. Dalam kitab-kitab Ushuluddin biasa juga dijumpai perkataan Sunny, kependekan Ahlussunnah wal Jama’ah, orang-orangnya dinamai Sunniyun. Tersebut dalam kitab Ittihaf Sadatul Muttaqin karangan Imam Muhammad bin Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab Syarah dari kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali, pada jilid 2 pagina 6 yaitu : “Apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yag mengikut rumusan (paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi.”
Kaum Ahlussunah wal Jama’ah muncul pada abad 3 Hijriyah sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat (Syiah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Mujassimah dan sebagian paham Ibnu Taimiyah) timbulah golongan yang bernama kaum Ahlussunah wal Jama’ah, yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hasan Ali al ‘Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi.*(1
Ahlu Sunah merupakan madzhab terbesar yang dianut umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni. Para pengamat sejarah mensinyalir bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah Ibnu Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu Jama’ah (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. Yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bakan saat terjadinya kekuasaan Islam dari Khalifah Ali Bin Abi Talib oleh Muawiyah, kedua Abdullah itu tidak masuk dalam perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri dalam ibadah-ibadh yang ketat (taqarrub) kepada Allah Azza Wa Jalla. Skap moderat itu kemudian menjadi ciri dari teologi Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau Sunni (mengutip Nurcholis Majid; Khazanah Intelektual Islam).
Menurut Nucholis Majid, istilah Ahlu Sunnah baru muncul pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Ja’far Al Mansur (137-159 H/754-755 M) dan Harun Al Rasyid (170-194 H? 785-809 M), yakni saat munculnya Abu Hasan Al Asy’ari (260-324 H?873-935 M). yang beraliran Al asyariyah dan Abu Mansur Muhammad (w.944) yang beraliran Maturidiyah. Mereka berdua mengaku berpaham (madzhab) Ahlu Sunnah.
Istilah Ahlu Sunnah wal jama’ah apabila ditelusuri dari hadis terdapat pada Riwayat Imam Abu daud dan Ibnu Majah. Tapi istilah itu kemudian melekat pada kelompok Islam yang mendukung sunnah Nabi seperti ahli Hadis, ahli kalam dan ahli politik. (Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, 1996)
Menurut Abdul Hadi Awang, mereka yang disebut Ahlu Sunnah adalah yang mengaku Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, mengakui para pemimpin Islam Khulafa’ ar Rasyidun dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah. (Abdul Hadi Awang, Faham dan Ideologi Umat Islam : Rujukan Lengkap Anutan dan Aliran Pemikiran Masyarakat Islam Sejak Zaman Khalifah Islam Pertama, 2008).
Generasi pertama Ahlu Sunnah adalah para Sahabat Rasulullah SAW, tabi’in, dan setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan Salaf. Generasi selanjutnya adalah para ulama dari aliran Maturidiyah dan Asy’ariyah serta para ulama fiqih seperti Ahmad bin Hmbal (w.241 H), Abu Hanifah, Malik Bin Anas (w. 179), Imam Syafi’I, Imam Sufyan As Sauri, dan lainnya.
Keberadaan aliran Ahlu Sunnah mulai kelihatan pengaruhnya saat mendapatkan dukungan dari kekuasaan Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al Mu’tashim yang tidak ketat dalam persoalan aliran teologi. Untuk memperlihatkan dukungannya , khalifah Al Mutawakkil yang menjabat setelah Al Mu’tashim, membebaskan Ahmad bin Hambal dari tahanan dan menyatakan Mu’tazilah sebagai aliran terlarang. Bahkan pejabat-pejabat yang masih beraliran Mu’tazilah diharuskan bertobat dan masuk kealiran Ahlu Sunnah. Apabila masih bersikeras, tak segan-segan mereka disiksa hingga menyatakan kelaur dari keyakinannya.
Bahkan seorang Mu’tazilah yang juga pejabat hakim Mesir yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais, oleh suruhan Al Mutaakkil dijatuhi hukuman cambuk, dicerca dan disiksa sampai hampir mati. Hal itu dilakukan sebagai balas dendam atas penyiksaan terhadapnya yang dilakukan Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais saat melakukan mihnah. Hampir semua tokoh dan pengikut Mu’tazilah pun dijatuhi hukuman mati dan sebagian dipenjarakan serta disiksa hingga menyatakan keluar dari aliran Mu’tazilah.
Tindakan kejam yang berbalut unsur politik dan kebencian terhadap aliran yang berbeda ini menimpa juga pada sejarawan dan ahli tafsir ternama, Muhammad bin Jarir At Thabari (w.311 H/923 M). Ulama Sunni ini disiksa karena menulis buku “Ihtilafu Al Fiikaha” yang berisi tentang perbedan pendapat dalam fiqih, tetapi tidak mencantumkan pendapat Ahmad Bin Hambal. Setelah ditanya, At Thabari menjawab bawa Ahmad bin Hambal bukan seorang ahli fiqih, tetapi seorang ahli hadis. Atas jawababnya itu At Thabari diperlakukan secara keji dengan dilempari batu dan dituduh telah meremehkan ulama besar. Hal yang paling menyakitkan bagi At Thabari adalah munculnya larangan menghadiri kuliahnya dan mengharamkan membaca karya-karyanya.
Tidak hanya kepada Mu’tazilah kebijakan dan tindakan zalim khalifah Al Mutawakkil pun merambah kepada semua aliran yang bercorak rasional. Selain itu Al Mutawwakkil memerintahkan tentaranya untuk menghancurkan bangunan-bangunan suci Syi’ah, termasuk makam Al Husain bin Ali dan melarang berziarah ketempat tersebut.
Bagaimanakah ajaran dan pokok-pokok dasar keyakinan teologi Ahlu Sunnah ini ? dalam memaknai iman, aliran ini berpendapat bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam konsep ketuhanan Ahlu Sunnah menetapkan bahwa tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, asma dan sifat. Mengenai Al Qur’an, Ahlu Sunnah meyakini al Qur’an sebagai kalam Allah, bukan Makhluk seperti yang diyakini Mu’tazilah.
Ahlu Sunnah menetapkan sumber pengambilan hukum didasarkan pada Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Seseorang belum dikatakan muslim apabila tidak menjalankan rukun Islam yang lima : membaca syahadat, shalat (lima waktu), puasa (ramadhan), zakat dan haji. Adapun dalam rukun iman (ushuluddina), Ahlu Sunnah menetapkan bahwa seseorang dikatakan beriman apabila meyakini Allah sebagai tuhannya, iman kepada malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul Allah, iman kepada hari Akhir (qiyamat) dan iman kepada qadha-qadar yang ditetapkan Allah.
Sejarah mencatat bahwa aliran ini pecah menjadi dua. Pertama adalah golongan salafiyah yang diwakili Ahmad bin Hambal, Abu Hasan Al Asy’ari (w.330), Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (w.751) dan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M). adapun yang menjadi cirinya adalah mereka menafsirkan Al Qur’an dan hadis secara harfiyah (tekstual), menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama yang menafsirkan Al Qur’an secara batiniyah, menyalahkan pendapat para fuqoha apabila tidak sesuai dengan Al qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Kedua adalah golongan Khalaf yang diwakili oleh Al Baqilani (w.403 H) dan Al Juwaini (w.478 H). golongan ini masih bisa menerima ta’wil dan bersikap toleran terhadap kalangan sufi. Bidang fiih merujuk pada empat imam madzhab fiqih dan hadis menggunakan riwayat-riwayat dari “ Al Kutub Al Sittah” yang meliputi Bukhari (w.256 H/870 M), Muslim (w.261 H/875 M), Ibnu Majah (w. 273 H/886 M), Abu Daud (w.275 h/886 M), Al Tirmidzi (w.279 H/892 M) dan An Nasai (w.303 H/916 M).
Pada awal abad pertengahan, Imam Al Ghazali memasukkan Tasawuf dalam Khazanah teologi Ahlu Sunnah. Hanya bidang filsafat yang tidak menjadi perhatian mereka karena mereka berupaya agar tidak terpengaruh ajaran dan pemikiran dari luar Islam, terutama tradisi hellenisme Yunani (Barat).
Selanjutnya tampil Ibnu Taimiyah memberikan warna baru dengan pemikiran kritis dan membuka pintu ijitihad yang sebelumnya tertutup akibat sikap taklid terhadap para ulama terdahulu. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, khazanah intelektual di kalangan Ahlu Sunnah mandek karena pada masa itu konsentrasinya terfokus pada perebutan wilayah kekuasaan antar-daulah Islam.
Tumbuhnya khazanah tasawuf dalam dunia Islam (Sunni) dan pertikaian politik mengakibatkan aliran Ahlu Sunnah tercemari dengan ajaran-ajaran dari luar Islam. Ditambah lagi dengan perebutan kekuasaan wilayah Islam dan politik identitas yang mungkin meruncingkan pertikaian di antara aliran-aliran Islam.
Hal ini terlihat dari berdirinya pemerintahan Ghaznawi dan Daulah Saljuk (1063 -1128 M) di Turkistan yang mengesahkan Ahlu Sunnah sebagai madzhab resmi Negara. Adapun teologi Syi’ah Ismailiyah Menjadi madzhab resmi Daulah Fathimiyah (969-1171 M) di Mesir.
Konflik di antara sesame Daulah Islam yang membawa bendera teologi masing-masing membuka peluang bangsa Barat untuk menjajah kawasan-kawasan Islam yang lemah akibat konfik yang berkepanjangan. Akhirnya dunia Islam mengalami kemunduran dalam khzanah intlektual dan menderita karena djajah bangsa Barat. *(2
Untuk menolak paham Muktazilah, Asy’ari menyusun beberapa kitab tauhid. Tujuan penulisan kitab tauhid yang dikarangnya tidak lain kecuali sebagai upaya kembali pada jalan kebenaran. Yakni kembali kepada tradisi pemikiran ulama salaf. Dalam kisah itu, karya tauhid yang dimaksud antara lain kitab al Luma’(mengutip Syekh Hamad bin Muhammad al Anshari, mukaddimah(catatan komentar) Al Ibanah ‘an Ushul al Diyanah). Bahkan menurut al Hafidz, Asy’ari termasuk seorang tokoh yang sangat produktif. Akumulasi karyanya mencapai hitungan lima puluh lima kitab. Dan rata-rata, bahasan karya-karyanya seputar akidah yang diproyeksikan untuk menolak (counter) terhadap sendi-sendi bid’ah dan penyimpangan akidah.
Sejak saat itu ( setelah al Asy’ari menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa dirinya telah melepaskan baju Muktazilah) al Asy’ari dengan gigih berjuang bersama Ahlul hadis meruntuhkan kepercayaan-kepercayaan Muktazlah. Beliau merumuskan pokok-pokok pikiran dalam berbagai kitab karangannya. Para pengikutnya pun berdatangan dari segala kawasan dunia Islam. Aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan al Asy’ariyah, dan dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini lebih banyak dikenal dengan sebutan Ahlusunnah wal Jama’ah. (aliran ini diyakini oleh para pengikutnya sebgai faham yang mewarisi tradisi eagamaan Nabi SAW, para sahabat, tabiin dan tabiin-tabi’in. Mereka sebenarnya berjumlah mayoritas namun lebih banyak diam (silent mayoriti) menghadapi beragam persoalan yang terjadi. Artinya sejak timbulnya perpecahan di era Khalifah Usman RA dan ‘Ali RA, dikalangan umat sebenarnya terdapat golongan yang berjumlah mayoritas namun memilih diam dan tidak mau ikut campur dalam urusan politik. Mereka hanya diam dan mengamati setiap perkembangan yang terjadi. Merekapun tidak menyatakan diri bergabung dengan kelompok tertentu. Golongan inilah yang secara tradisional meneruskan tradisi kegamaan yang diwariskan secara turun-temurun sejak era Nabi SAW. Hingga periode berikutnya. Pada era kepemimpinan Al Ma’mun, dimana aliran rasional Muktazilah cenderung dipaksakan agar dianut oleh seluruh rakyat, akhirnya glongan ini menampakkan jati dirinya. Kebetulan saat itu terdapat seorang intelektual handal dan kharismatik, Abu Hasan Al Asy’ari, yang siap berada di barisan terdepan menentang faham Muktazilah. Bersama beliaulah golongan ini menggabungkan diri. Aliran Asy’ariyah pada Akhirnya menjadi aliran yang dianut mayoritas umat Islam hingga abad modern ini.)
Sehingga perjalanan panjang tokoh-tokoh pejuang Ahlussunah wal jama’ah dalam sisi tradisi pemikiran sesuai dengan yang disampaikan oleh Nabi SAW, sahabat dan salafus al Shalih harus kita teladani meski harus berhadapan dengan cibiran dan cemoohan sekalipun sebagaimana yang dialami ulama-ulama terdahulu dalam mempertahankan keyakinannya.
Di kalangan penganut Sunni, kegemilangan pemikiran Al Ghazali semakin mengokohkan aliran Asy’ariyah sehingga paham ini hampir dianut oleh mayoritas umat Islam diberbagi Negara. Paham Sunni Asy’ariyah secara tradisional terus bertahan hingga berabad-abad lamanya dan tetap dengan memakai atribut dan nama lama, yakni Sunni Asy’ariyah atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Di Indonesia, aliran ini direpresentasikan oleh berdirinya gerakan Nahdlatul Ulama (NU) serta lembaga-lembaga pendidikan pesantren yang tersebar luas di seantero negeri.
Selain paham tradisional Asy’ariyah, aliran Sunni semakin berkembang dengan lahirnya sekte-sekte baru yang mengkalim dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hambal, salah satu tokoh utama Sunni, tetapi tidak mengaku sebagai pengikut Asy’ari. Sekte baru tersebut dinamakan dengan Aliran salaf dan dipelopori oleh ulama kenamaan Ibnu Taimiyah. Paham salaf Ibnu Taimiyah ini pada abad-abad berikutnya semain berkembang dengan melahirkan sekte cabang baru yang cukup banyak jumlahnya seperti aliran salaf dan gerakan Wahabi.
Masuknya Filsafat Yunani ke dunia Islam semakin menyemarakkan diskursus akidah dikalangan umat Islam. Aliran pertama yang sangat dipengaruhi filsafat adalah Muktazilah, sehingga ajaran tauhid mereka cenderung rasional dan liberal. Pemerintahan Al Ma’mun yang memang menaruh minat cukup besar terhadap filsafat, akhirnya menjadikan aliran Muktazilah sebagai madzhab resmi Negara. Akibatnya pihak pemerintah cenderung memaksa para pegawai pemerintah dan tokoh masyarkat untuk menganut paham Muktazilah. Dari sinilah kemudian timbul perlawanan dari berbagai pihak terhadap ajaran Muktazilah, yang pada akhirnya melahirkan paham Ahlussunah wal Jama’ah (Sunni). Di Bagdhad hadir abu Hasan Al Asy’ari, di Samarkand ada Abu Mansur al Maturidi, dan di Bukhara terdapat Abu al Yusr Ali al Bazdawi. Mereka semua menggelorakan semangat perlawanan terhadap faham Muktazilah dan mengingkrarkan diri sebagai pengikut Ahli Hadis (Imam Ahmad Bin Hambal) yang mewarisi akidah nabi Muhamad SAW dan para sahabatnya (Sunni).
Pada masa-masa berikutnya dua aliran ini (Muktazilah dan Sunni) nyaris mendominasi percaturan diskursus tauhid umat Islam, disamping aliran Syiah yang sesekali muncul kepermukaan. Ketiganya terus berkompetisi memperebutkan kantong-kantong suara umat Islam. Perbedaannya jika Sunni semakin mendapat simpati, maka Syiah cenderung jalan ditempat dan Muktazilah justru semakin anjlok.
Pada permulaan abad ke-5 Hijriyah aliran Muktazilah akhirnya mati sama sekali, dan tinggallah Syi’ah dan Sunni yang terus bertahan. Pada abad ini erakan kembali ke aliran Salaf yang digelorakan Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya, berhasil melahirkan gerakan-gerakan baru dikalangan kaum Sunni, seperti Wahabi di Saudi Arabia dan Muhammadiyah di Indonesia. Sementara aliran-aliran Sunni lainnya seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah juga terus bertahan dan bahkan melahirkan gerakan baru pula, seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia. *(3
Pengaruh penerjemahan buku-buku filsafat terhadap perbedaan pendapat dalam Islam tmpak sangat jelas. Nuansa pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh pertentangan antar madzhab filsafat kuno tentang alam, materi dan metafisika. Dikalangan umat Islam ada yang mengikuti madzhab dan metode filsafat kuno. Pada masa daulah ‘Abbasiyah muncul kaum skeptic yang meragukan segala sesuatu dengan metode kaum sofistik yang terdapat di Yunani dan Romawi.
Dari madzhab-madzhab filsafat di atas lahir bermacam-macam pemikiran yang mempengaruhi pemikiran keagamaan dan muncul beberapa pemikir yang melahirkan pemikiran filosofis di bidang akidah Islam. Dalam madzhab Mu’tazilah, umpamanya terdapat para ulama yang menggunakan metode filosofis dalam menetapkan akidah Islam. Demikian pula ilmu kalam madzhab Mu’tazilah dan ilmu kalam mazdhab penentangnya, Ahlussunnah, merupakan kumpulan silogisme, perbandingan filosofis dan kajian rasonal murni.
Sebenarnya pada abad ke-3 dan ke-4 Hijrah, Mu’tazilah semakin melemah. Dulu mereka gigih dalam menolak kaum yang sesat dan menyerang Islam. Ketika mereka telah lemah, Al Asy’ari mucul di tengah-tengah ulama Sunni dan orang-orang yang melanjutkan aktivitas mereka untuk melaksanakan pekerjaan besar, sebab ia adalah murid para ulama Mu’tazilah dan mengenal benar kegigihan mereka dalam hal itu. Di samping itu, ia telah menjadi imam Ahlussunnah yang terkenal pada waktu itu setelah dominasi golongan Mu’tazilah hilang. Dengan begitu al Asy’ari memperoleh kedudukan yang tinggi dan mempunyai banyak pendukung, ia mendapatkan dukungan dan pembelaan dari para penguasa. Kemudian ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik dari kaum Mu’tazilah maupun dari kaum yang sesat serta orang-orang kafir. Para pendukungnya menyebar luas keberbagai kawasan untuk memerangi musuh Ahlussunnah dan penentangnya. Kebanakan ulama pada masanya menggelarinya sebagai Imam Ahlussunah wa al jama’ah.
Kendatipun demkian, sepeninggalannya datang sejumlah ulama yang menentangnya. Ibnu Hazm misalnya menganggapnya sebagai bagian dari Jabariyah. Pendapat Al Asy’ari tentang perbuatan manusia, dalm pandangan Ibnu Hazm, tidak menetapkan adanya Ikhtiar manusia. Ia juga menganggapnya sebagai pengikut Murji’ah karena pendapatnya mengenai pelaku dosa besar.
Setelah Ibnu Hazm menyusul para pengkritik lain terhadap Al Asy’ari pada bebrapa masalah selain dua masalah di atas. Kendatipun demikian, kebanyakan para penentangnya sirna dalam sejarah perjalanan Islam. Dari generasi ke generasi , pendukungnya justru semakin kuat. Pandangan merekasemakin kokoh dan mengikuti jejak Al Asy’ari. Mereka berdiri pada posisi Al Asy’ari dalam menyerang Mu’tazilah dan golongan yang mengingkari Ketuhanan. Posisinya mereka gantikan dalam segala bidang dan pembicaraan tentang akidah.
Sekalipun kesuksesan Al Asy’ari berlanjut terus pada awal perjalanan sejarahnya, tetapi ada sejumlah ulama besar Islam yang menentangnya, sungguhpun jumlah mereka tidak banyak. Dari kalangan Hambalipun ada ulama yang menentangnya. *(4
Selain dari Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi ada lagi seorang teolog dari mesir yang juga bermaksud untuk menetang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al Thahawi (w.933 M) dan sebagaimana halnya dengan Al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari Madzhab Hanafi dalam lapangan hukum Islam. Tetapi ajaran-ajaran At Thahawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam. Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah.
Yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al jama’ah. Aliran maturidiyah banyak dianut oleh ummat Islam yang bermadzhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia Islam, yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan Yunani Klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat Modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata Neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam,”umpamanya kaum modernis Islam India disebut neo- Mu’tazailah oleh pengarang-pengarang barat. Robert Caspar menulis tentang, “Le Renouveau du Mo’tazilisme” dalam Insitut Dominicain d’Etudes Orientales du Caire Melanges, IV (1957).
Kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, disamping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah.
Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli Sunah dan Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagi lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka sunnah dalam term ini berarti hadis. Sebagaimana diterangkan Ahmad Amin, Ahli Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah, percaya pada dan menerima hadis-hadis Sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah berrati mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al Syari’ah al Mahbubi yaitu ‘ammah al Muslimin (umumnya Ummat Islam) dan al Jama’ah al katsir wa al sawad al a’dzam (jumlah besar dan khalayak ramai).
Term ini kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliran-aliran al Asy’ari dan al Maturidi, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan : “ ……. Dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul (dzahara) atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al Asy’ari disekitar tahun 300 H, karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 Tahun.” Dengan kata lain Al Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran Asy’ari kata-kata Sunnah dan Jama’ah telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan Arab. Umpamanya di dalam surat al Ma’mun kepada Gubernurnya Ishaq Ibnu Ibrahim yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al Asy’ari lahir, tercantum kata-kata wa nasabu anfusahum ila al sunnah (mereka mempertalikan diri mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al Haq wa al din wa al Jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Bagimanapun, yang dimaksud dengan Ahli sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan Teologi Islam adalah Kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. *(5
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berasal dari kata-kata :
a. Ahl (ahlun), berarti golongan atau pengikut.
b. Al Sunnah berarti tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW.
c. Wa huruf ‘athaf yang berarti dan atau serta.
d. Al Jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis, istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul SAW dan sunnah para sahabat, lebih khusus lagi sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Afan dan Ali Bin Abi Thalib.
Selanjutnya jalan hidup Rasulullah SAW tidak lain adalah ekspresi nyata dari kandungan al Qur’an. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasanya disitilahkan dengan al Sunnah atau al Hadis. Kemudian Al Qur’an sebagai kalamullah, terkemas sendiri dalam mushaf Al Qur’an Al karim. Sedangkan ekspresi nyatanya pada diri Rasulullah SAW pun terkemas secara terpisah dalam kitab-kitab hadis, seperti sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al turmudzi, Sunan An Nasai dan Sunan Ibnu Majah, serta kitab hadis-hadis lainnya yang disusun oleh para ulama lainnya.
Di samping itu para sahabat, khususnya sahabat empat adalah generasi pertama dan utama dalam melazimi perilaku Rasulullah SAW, sehingga jalan hidup mereka praktis merupakan penjabaran ynata dari petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Setiap langkah hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang terkandung dan terkehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat petunjuk dan control langsung dari baginda Rasulullah Saw. Oleh karena itu, jalan hidup mereka relatif terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran Islam, sehingga jalan hidup mereka pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama setelah jalan hidup Rasulullah Saw. Sendiri. Dalam hadis diterangkan :
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ
Artinya :”Telah bercerita kepadaku Ishaq telah bercerita kepada kami an-Nadlar telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Abu Jamrah, aku mendengar Zahdam bin Mudlarrib, aku mendengar 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka". 'Imran berkata; "Aku tidak tahu apakah setelah menyebut generasi beliau, beliau menyebut lagi dua generasi atau tiga generasi setelahnya.""Kemudian akan datang setelah kalian suatu kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi dan mereka suka berkhiyanat (sehingga) tidak dipercaya, mereka memberi peringatan padahal tidak diminta memberi fatwa dan nampak dari ciri mereka berbadan gemuk-gemuk". (HR. Bukhari)
Ada dua pendapat mengenai hadis tersebut. Pertama, periode seratus. Pertama dari masa hidup Nabi SAW (abad 1 H). kemudian seratus tahun kedua (abad II H) dan disusul seratus tahun berikutnya lagi (abad III). Hal ini didasarkan pada pengertian qarnun, yaitu abad atau hitungan 100 tahun. Kedua, ada yang berpendapat bahwa qarnun tidak diartikan dengan perhitungan 100 tahun, tetapi yang dimaksud adalah suatu situasi yang mana ajaran-ajaran Islam secara affah, integral dan komprehensif dia amalkan oleh pemeluk-pemeluknya dan belum timbul adanya firqoh-firqoh. Hal ini terjadi hanya pada masa hidup Nabi SAW, masa Khalifah Abu Bakar As Siddiq Ra., dan Umar Bin Khatab. Pasca masa tersebut mulai timbul adanya konfik-konflik politik dan diikuti oleh perbedaan paham keagamaan, yaitu masa akhir khalifah Utsman bin ‘Affan dan seterusnya.
Sejalan dengan pemikiran yang demikian itu , maka tepatlah definsi Ahlus Sunnah Wal jama’ah yang dikemukakan oleh Abu al Fadl bin al syekh ‘Abd al Syakur al Sanuri dalam kitabnya “ Al kawakib al lamma’ah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah wa al Jama’ah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed) mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya, baik dalam lingkup akidah, ibadah maupun dalam lingkup akhlak.
Adapun wujud konkritnya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak lain ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Artinya dalam segala hal selalu merujuk kepada petunjuk Al Qur’an dan al Sunnah. Selanjutnya diterangkan :
“tatkala itu telah terjadi penamaan Ahlussunah wal Jama’ah bagi orang-orang memegangi sunnah Nabi SAW dan thariqah (cara hidup) para sahabat dalam akidah agama, amal perbuatan badaniyah dan akhlak hati.”
Menurut Muhammad Khalifah al Tamimi dalam “Mu’taqad Ahl as Sunnah wal Jama’ah Fi Tauhid al Asma Wa al Shifat, 1999” : “Pengertian tentang Ahlus Sunnah ; kadang-kadang para ulama menggunakan nama Ahlus Sunnah Wal jama’ah, sebagai pengganti dari nama salaf. Maka Ahlus Sunnah Wal jama’ah adalah para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian Imam-Imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya. Maka menyimpang dari pengertian ini semuanya dipandang sebagai kelompok ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu. Diterangkan oleh Ibnu Abbas ra. Dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala (surat Ali Imran, ayat 106) :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Artinya : “ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".(QS. Ali Imran :106 )
Dikatakan wajah yang putih berseri adalah orang-orang Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan wajah yang hitam muram adalah adalah wajah orang-orang ahli bid’ah dan perpecahan.
Dengan kata lain, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah SAW, dan jejak para sahabat terutama jejak Khulafa al Rasyidin, dengan senantiasa berpegangteguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah.
Mengenai batasan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di atas, para ulama merujuk kepada beberpa dalil naqli, terutama yang termaktub dalam beberapa hadis. Di antaranya :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan." (HR. Abu Daud, At turmudzi, An Nasa’I dan Ibnu Majah)
Hadis ini, tidak secara tegas menyatakan adanya golongan yang disebut “ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, “ tetapi baru diisyaratkan bakal terpecahnya umat Rasulullah Saw. Menjadi 73 Golongan (firqah). Maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berarti salah satu dari 73 golongan tersebut.
Hadis lain, yakni yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah Ibnu Umar Ra., bahwasanya Nabi saw. Bersabada :
…….وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مُفَسَّرٌ لَا نَعْرِفُهُ مِثْلَ هَذَا إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
“…………sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan, " para sahabat bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya". Abu Isa berkata; 'Hadits ini hasan gharib mufassar, kami tidak mengetahuinya seperti ini kecuali dari jalur sanad seperti ini.”'(HR. Turmudzi)
Meskipun belum secara tegas terungkap istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, namun maknanya yang tersirat di dalamnya, yakni bahwa golongan yang selamat dari ancaman api neraka itu adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak (jalan hidup) Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya. Makna yang demikian inilah yang kita maksudkan sebagai batasan (pengertian) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah satu-satunya golongan umat Islam yang selamat dari ancaman neraka, hal ini lebih tegas lagi diungkapkan dalam hadis lain yang Artinya :
“(Rasulullah Saw. bersumpah) bahwa demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad,sungguh umatku bakal terpecah menjadi 73 golongan.Maka yang satu golongan masuk surga,sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.Seorang sahabat bertanya: Siapakah golongan yang masuk surga itu ya Rasulullah? Jawabnya: Yaitu golongan Ahlus Sunnah Wal jama’ah”. (HR.Al-Tabrani)
Hadis tersebut secara langsung menyebutkan kata”Ahlus Sunnah Wal Jammaah” sebagai satu-satunya golongan yang dinyatakan bakal selamat bisa masuk surga.
Berdasarkan ketiga hadis tersebut, jelaslah bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak golongan sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Di antara 73 golongan itu, terdapat satu golongan yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah saw. Dan jejak hidup sahabatnya. Dan golongan yang selamat (masuk sorga) itu ialah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, maka sejalan dengan batasan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunah Wal jama’ah ialh golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw. dan jalan hidup para sahabat, tentunya dengan berpegang teguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah. Golongan yang demikian inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. akan masuk surga.
Jumlah para sahabat Rasul, tentulah cukup banyak, ketika Nabi Saw. melakukan haji Wada’ menurut suatu riwayat adalah bersama 114.000 sahabatnya. Ini belum terhitung mereka yang tidak ikut berangkat menunaikan haji karena keadaan, mereka yang telah meninggal dunia sebelumnya, baik sebagai syuhada’ maupun meninggal dunia karena sakit atau lainnya. Selama perilakunya tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah meskipun Rasulullah saw. telah wafat, maka semua perilaku mereka itu akan diikuti oleh kaum muslimin yang berfaham Ahlus Sunnah Waljama’ah. Namun, mengingat banyaknya jumlah mereka dan tidak mudahnya mengidentifikasi perilaku satu persatu dari mereka, maka yang menjadi rujukan utama ialah sahabat empat yang dikenal sebagai al Khulafa’ Al Rasyidin (para khalifah yang terpercaya), yakni sahabat : Abu Bakar Siddiq Ra., Umar Ibnu Khatab Ra., Utsman Bin Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Karramallahuwajhah.
Bahkan hanya keempat sahabat itulah yang disifati oleh Rasulullah Saw. sebagai al Mahdiyyin (sahabat utama yang mendapat petunjuk) serta diperintahkan supaya diikuti perilakunya, sebagaimana diungkapkan dalam hadis yang berbunyi :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو السُّلَمِيُّ وَحُجْرُ بْنُ حُجْرٍ قَالَا أَتَيْنَا الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ وَهُوَ مِمَّنْ نَزَلَ فِيهِ { وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ }فَسَلَّمْنَا وَقُلْنَا أَتَيْنَاكَ زَائِرِينَ وَعَائِدِينَ وَمُقْتَبِسِينَ فَقَالَ الْعِرْبَاضُ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: “(dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, suapaya kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan orang yang membawamu) ' -Qs. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setaip bid'ah adalah sesat." (HR. Abu Daud ).
Perlu dipelajari perkembangan sejarah Ahli Sunnah Wal Jamaah mulai dari awalnya tatkala ia masih bersifat substansial hingga melembaga menjadi sebuah paham.Kongkretnya, mulai dari periode rosul,sahabaat, tabiin,imam mazhab empat,imam Al-Ghazali dan Al-Junaidi.Sehingga substansi dan institusi paham Ahlus Sunnah wal Jamaah itu akan dapat dipahami lebih jauh dan lebih luas.
Apabila di telusuri dari masa khlifah Abu Bkar ra. Sampai masa khalifah Ali bin Abi Thalib kw. (11-40 H/632-661 M), umat Islam tidak luput dari nuansa perbedaan faham. Namun paham-paham yang muncul dan sampai keluar dari khittah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Al Qur’an dan Hadis) pada dasarnya tidak sebanding dengan jumlah mereka yang masih berada dalam Khitahnya.
Samapi disini batasan subsatansial paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih diikuti oleh golongan terbanyak. Golongan mayoritas ini memang belum disebut sebagai golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Para ulama menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain :
a. Jumhur al Ummah al islamiyyah (mayoritas Umat Islam).
b. Jamaiyyah (umat terbesar)
c. Al Sawad al A’dzam (kelompok Besar)
d. Al salaf Al Salih (para pendahulu yang saleh-saleh)
e. Ahl al Haq (golongan yang hak/benar)
f. Ahl Al Hadis
Perkembangan selanjutnya, nama-nama tersebut masih banya dipergunakan untuk menyebutkan golongan terbanyak yang tetap berpegang teguh kepada petunjuk naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), bahkan pada gilirannya, nama-nama itu sering dipergunakan sebagai nama lain dari Ahlus Sunnah Wal jama’ah.
Paham Ahlus Sunnah Wal jama’ah, adlah paham Islam yang secara menyeluruh. Para ulama tidak ada yang berbeda pendapat tentang Islam dalam lingkup makro yang meliputi lngkup-lingkup aqidah, ibadah (fiqih), dan akhlak (tasawuf). Maka dengan mengacu batasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah secara formal di atas, ruang lingkup paham Ahlussunnah Wal jama’ah meliputi tiga lingkup aqidah, ibadah dan akhlak. Dan dalam makna yang mikro, ia hanya meliputi lingkup akidah saja.
Untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tersebut dengan lingkup-lingkup paham lain, perlu ditegaskan dengan menyebutkan masing-masingnya menjadi Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ibadah (fiqh) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Akhlak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Substansi paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat (utamanya sahabat empat) dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al Qur’an dan al Sunnah (al Hadis), maka lembaga (madzhab) dilingkup fiqih tetap mengikuti Sunnah Rasul dan Tariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al Qur’an dan Al Sunnah.
Adapun institusi akidah (kalam) Yang sejalan dengan paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah insitusi akidah yang dicetuskan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur Al maturidi. Meskipun tidak sama persis pemikiran kalam mereka berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhdap petunjuk naqli. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naqli, tidak sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logka Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabakan petunjuk naqli.
Dengan demikian maka dalam konteks historis paham Ahlussunah Wal jama’ah adalah sebuah paham yang dalam lingkup “akidah” mengkuti pemikiran kalam Al asy’ari atau al Maturydi. Dan institusinya kemudian disebut al Asy’ariyah atau al maturidiyah. Sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang menyebarkan dan mengembangkan pemikiran kalam al asy’ari dan al Maturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti ; Al Baqilani, al Juwaini (Imam Al Haramain), al isfirayini, Abu Bakar Al Qaffal, Al Qusyairiyi, Fahr Al Din Ar Razi, Izzudin Abdul Salam, termasuk Al Ghazali dan Al Badzawi. Dan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah pemikiran kalam al Asy’ari yang telah dikembangkan oleh Al Ghazali melalui karya-karyanya, antara lain : Ihya Ulumuddin, Al Iqtisad fi Al I’tiqad, Al Munqidz Min Al Dlalal, dan lain-lain.
Sejak agama Islam masuk Indonesia telah dikenal pula tokoh-tokoh al Asy’ariyah seperti : syaikh Sanusi, Syaikh Dasuki, Syaikh Al Bajuri, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh al Tarabulisi, Syaikh Al Fatani, dan lain-lain. Pemikiran kalam mereka ada kemungkinan sebagian ada yang berbeda dengan pemikiran kalam al Asy’ari sendiri atau setidaknya bernuansa lain.
Bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas warga Negara dan bakan merupakan jumlah terbanyak Negara yang penduduknya beragama Islam. Dalam paham keagamaanya, hampir seluruh Muslim Indonesia adalah berpaham teologi Ahlussunah Wal Jama’ah atau Sunni, dan sedikit sekali mereka yang mengaku berpaham Syiah, Liberalisme (tahririyah), radikalisme (ushuliyah) dan lain-lain. Mereka yang disebut terakhir ini, sebenarnya jumlah pengikutnya itu tidaklah banyak. Hanya saja mereka tertata rapi, disiplin, fanatik dan memiliki komitmen tinggi terhadap kelompoknya, sehingga mereka tampak bergaung dan hebat. *(6
===================
Maraji’:
1. (KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal jama’ah, tahun 2008)
2. (Ahmad Sahidin, Aliran-Aliran dalam Islam, 2009)
3. (Tim Saluran Teologi 2005 (Santri Tamatan Aliyah MHM) , Akidah Kaum Sarungan; Refleksi Mengais Kebeningan Tauhid, tahun 2010)
4. (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah: (Tarikh Al Madzahib Al Islamiyah) Terjmh. Aliran Politik dan Akidah Dalam Islam, tahun 2011 M)
5. (Prof.DR. Harun Nasution, Teologi Islam”Aliran-aliran, sejarah, analisa, perbandingan, 2011)
6. (Prof. DR. KH. Sahilun A. Nasir, M.pd.I; Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Analisa dan Perkembangannya, tahun 2010)
7. Al Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Al Madzahi Al islamiyah, Dar Al Fikr Al ‘Arabi
0 comments:
Post a Comment