Saturday, April 20, 2013

Tinjauan Teoritis Kerjasama Orang Tua Dan Guru


A.     Peranan Orang Tua dalam Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran bukan saja tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk orang tua peserta didik. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi peserta didik, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Sekolah dan guru hanyalah sekedar membantu orang tua dalam mendidik anaknya. Muhammad Ali al-Hasyimi mengemukakan bahwa Islam menjadikan orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya secara menyeluruh termasuk pada pembentukan diri yang salih, tegak, di atas akhlak mulia.[1]
Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan penting dan amat berpengaruh terhadap pendidikan. A1-Qur’an al-Karim mengajarkan kepada keduanya tentang pendidikan anak-anaknya, seperti yang terkandung dalam Q.S. Lukman/3l: 13, sebagai berikut:
Ayat di atas rnengarahkan secara langsung kepada kedua orang tua tentang cara berbicara kepada anak-anaknya. Husain Mazhahiri memberi tiga manfaat dari ayat tersebut:  


Terjemahan:
 Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".[2]
Ayat di atas rnengarahkan secara langsung kepada kedua orang tua tentang cara berbicara kepada anak-anaknya. Husain Mazhahiri memberi tiga manfaat dari ayat tersebut:
Pertama, Ayat ini menggunakan ungkapan kata “wahai anakku”. Artinya, seorang ayah atau ibu apabila berbicara dengan putra-putrinya hendaknya menggunakan kata kekasihku, belahan jiwaku, kehidupanku, dan ungkapan-ungkapan lain yang serupa.
Kedua. “Ketika dia memberi pelajaran kepada anaknya”. Ungkapan ini menunjukkan pentingnya kata yang lembut disertai rasa cinta kasih ketika kedua orang tua berbicara dengan anak-anaknya.
Ketiga. Firman Allah mengatakan, “Sesungguhnya mempersekutukan Allah benar-benar kezaliman yang besar.” ini menyarankan kepada kedua orang tua agar ketika menyuruh dan melarang harus menggunakan argumentasi yang logis.[3]
Menurut peneliti, ayat tersebut memberikan isyarat kepada kedua orang tua untuk melakukan kegiatan pembelajaran terhadap anak-anaknya, agar selalu taat beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya terhadap yang lain, berbuat baik, serta berbicara sopan santun kepada sesama manusia.
Zakiah Daradjat, et a1., menyatakan, bahwa pada dasarnya kenyataan seperti ini berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga, yang pada akhirnya penddikan adalah tanggung jawab setiap orang tua atas anak-anaknya. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab tersebut secara mendasar terpikul kepada keduanya.[4]
Mappanganro berpendapat, orang tua merupakan pendidik pertama dan utama dalam rangka pembinaan pertumbuhan dan perkembangan anak dan begitu pula agar rumah tangga merupakan tempat pertama dan utama dalam usaha menanamkan akhlak mulia terhadap anak.[5]
Secara psikologis keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling rnemperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan secara pedagogis keluarga adalah satu persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.[6]
Mengajarkan kalimat tauhid pertama kepada anak-anak yang mulai lancar berbicara juga Rasulullah perintahkan kepada orang tua sebagaimana tersebut dalam satu hadis riwayat al-Baihaqiy dari Ibn Abbas r.a.




Artinya


Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘All aI-Ruzubãriy dan Abu Abdullah al-Hafiz, keduanya berkata, telah mengabarkan, Abu Nadr Muhammad bin Muhammad bin Yusuf al-Faqih, (dia berkata) telah mengabarkan Abu Abdullah bin Muhammad bin Mahmüwiyyah bin Muslim, (dia berkata) telah menceritakan kepada kami Bapakku, (dia berkata) telah menceritakan kepada kami al-Na4r bin Muhammad al-Bisakiy dari Sofyan al-Tauri dari Manur dari lbrãhim bin Muhãjir dari ‘Akramah dad Tbn Abbas dari Nabi saw. bersabda “Bukakanlab untuk anak-anak kamu yang masih kecil                    sebagai kalimat pertama dan ajarkanlah kalimat                    kepada mereka menjelang kem.atiannya. (alB aihaqiy)[7]
Hadis ini dikutip dari kitab Syu’b a1 Iman Juz VI, dengan nomor hadis 8649, yaitu kitab matan Abu Bajr Ahmad bin Al-Husain al-Baihiqiy. Perintah tersebut dilaksanakan dengan senang hati oleh para sahabat, sebagaimana tersebut dalam satu riwayat dari Abdurrazzaq.


Artinya:
Abdurrazzaq dari Hasyim bin Basyir dari al-’Awämi bin Husyab dari Ibrãhim berkata, “sesungguhnya kalimat pertama yang mereka sukai untuk diajarkan kepada anak-anak yang baru bisa berbicara adalah kalimat sebanyak tujuh kali, sehingga kalimat mi yang pertama kali diucapkan oleh anak. (Abdurrazzaq)[8]

Menyimak kandungan hadis-hadis di atas, tergambar dengan jelas bahwa penanaman akidah kepada anak adalah satu bentuk tanggung jawab yang harus dipegang teguh oleh orang tua. Dari hadis-hadis tersebut, tampak penekanan Rasulullah saw. dalam pengajaran tauhid. Dengan demikian, kalimat-kalimat yang diucapkan oleh anak sejak kecil akan berpengaruh terhadap perkembangan pikiran dan jiwanya setelah dewasa. Jika anak telah akrab dengan kalimat tauhid, kelak akan mudah menghayati makna kalimat tersebut, dan sangat membantu pola pikir serta perkembangan mental anak dalam menghayati agamanya.
Kalimat tauhid sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin, dan dilakukan dengan cara dan pembenian contoh teladan yang baik dalam kehidupan sehani-hari. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan anak, pengajaran tauhid ini harus tetap ditanamkan kepada anak, dengan harapan anak akan memiliki keimanan yang kuat dan menjauhi perbuatan yang dapat merusak akidah.
Di samping keluarga bukan hanya sebagai persekutuan hidup terkecil saja, melainkan lebih dari itu, yakni sebagai lembaga hidup manusia yang memberi peluang kepada para anggotanya untuk hidup bahagia dunia dan akhirat. Pertama-tama yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., dalam mengembangkan agama Islam adalah untuk mengajarkan agama itu kepada keluarganya, baru kemudian kepada masyarakat luas. Hal itu berarti di dalamnya terkandung makna bahwa keselamatan keluarga harus lebih dahulu mendapat perhatian atau harus didahulukan ketimbang keselamatan masyarakat. Karena keselamatan masyarakat pada hakekatnya bertumpu pada keselamatan keluarga.
Pendidikan dalam keluarga memberikan peranan yang sangat berarti dalam kegiatan pembelajaran termasuk dalam proses pengembangan spiritual anak. Sebab di lingkungan inilah anak pertama kali menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan kepadanya. Sehubungan dengan itu, Ahdullah Nisih ‘Ulwãn mengatakan bahwa masa-masa tersebut pendidikan keimanan bagi anak mulai ditanamkan, dan diberikan pemahaman tentang rukun-rukun Islam, serta diajarkan tentang dasar-dasar syariah.[9]
Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya pemeliharaan diri dari segala apa yang dapat membahayakan yang berupa nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan, dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Asy-Syaikh Fuhaim Musthafa berpendapat, bahwa keluarga adalah tempat berkembangnya individu, dimana keluarga merupakan sumber utama dari sekian sumber-sumber pendidikan nalar seorang anak. Sehingga keluarga dinilai sebagai lapangan pertama, dimana di dalamnya seorang anak dapat menemukan pengaruh-pengaruh dan unsur-unsur kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya.[10] Dalam hal ini, keluarga harus benar-benar berperan sebagai sarana pendidik dan pemberi nilai-nilai budaya yang mendasar dalam kehidupan anak. Maka dari itu, keluarga harus membekali seorang anak dengan pengetahuan bahasa dan agama, mengajarkanya tentang berbagai pemikiran, kepercayaan, kecenderungan dan nilai-nilai yang baik, demi untuk menata masa depan.
Telah ditegaskan para ahli ilmu jiwa dan pendidikan, bahwa pengalaman-pengalaman sosial yang benar dan berbagai bentuk interaksi yang dilakukan anak di dalam lingkup keluarga, pada tahun-tahun pertama dari kehidupanya, memiliki peran penting dalam pembentukan dan pembinaan kepribadiannya. Juga dalam pembentukan perilaku, kebudayaan dan penyesuaian dirinya. Sejalan dengan itu, secara kelembagaan lingkungan sekolah yang merupakan factor kedua dari pendidikan anak dapat memberikan pengaruh dalam pembentukan spiritual anak. Dalam kaitan ini, Ahmad Fu’ad al-Ahwaniy menyatakan bahwa ajaran islam dalam upaya peningkatan mutu keluarga, dan dalam upaya pengembangan aspek kebudayaan, maka secara runtut setelah pendidikan di lingkungan rumah tangga, adalah pendidikan di lingkungan sekolah yang harus menjadi penekanan. Pada lingkungan tersebut, di mana para guru harus bertindak sebagai pengelolah pendidikan secara profesional.[11]
Jadi, keluarga merupakan kelompok manusia pertama yang menjalankan hubungan-hubungan kemanusiaan secara langsung terhadap anak. Dengan demikian, sebuah keluarga memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap anak dalam mengenalkan berbagai bentuk perilaku social. Pentingnya peran keluarga ini juga dibatasi dalam hal pengalaman-pengalaman pertama bagi kehidupan anak. Karena pengalaman-pengalaman tersebut dapat menjadi sumber kepribadian. Maka, melalui lingkungan keluarga inilah ditetapkannya benih-benih kepribadian, terbentuknya kerangka kepribadian dan karakteristik-karakteristiknya yang sangat mendasar,
Berkaitan dengan tanggung jawab dan sekaligus sebagai amanah dari Allah swt, maka orang tua sudah seharusnya memelihara, menjaga, dan mendidik anak-anaknya sebaik mungkin. Rasulullah saw. bersabda dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar r.a., hadis ini, berdasarkan lafal Muslim

 





Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) Lais telah menceritakan kepada kami, (pada jalur sanad lainnya) Muhammad bin Rumhi telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) telah menceritakan kepada kami al-Lai dan Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi saw., bahwasanya Rasulullah telah bersabda, “Ketahuilah, tiap kamu adalah pemimpin dan tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, maka al-Amir adalah pemimpin, dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas ahli rumahnya, dan dia. akan ditanya atas kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya, dan dia ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia ditanya tentang kepemimpinannya. Ingat, tiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. (Muslim)[12]
Hadis di atas secara umum, menggambarkan tanggung jawab orang tua. Hadis ini juga mengandung maksud bahwa pendidikan yang diberikan oleh orang tua pada anaknya, merupakan bagian yang akan dipertanggungjawabkan. Pendidikan anak harus menjadi perhatian orang tua, karena merupakan tonggak awal untuk pendidikan dan pembentukan kepribadian anak pada masa selanjutnya.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, peranan orang tua sangat penting. Karena orang tua dapat pula dilibatkan dalam program pembelajaran dan mengatasi kesulitan belajar peserta didik. Orang tua dapat membantu kesulitan peserta didik dalam bidang pelajaran tertentu di rumah untuk memberi penjelasan atau jika diperlukan mendatangkan guru les privat. Hal tersebut, menunjukkan bahwa peran orang tua dalam proses pembelajaran sangat penting. Maksudnya orang tua bukan saja menjamin kelangsungan hidup anaknya, menyediakan dana, sarana dan prasana sekolah. Tetapi juga terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran oleh anaknya di rumah. Dengan demikian, pemberdayaan peran orang tua merupakan bagian yang sangat urgen.
Mohammad Syaifuddin berpendapat, bahwa ada tujuh jenis peran serta orang tua dalam pembelajaran, yaitu:[13]
1.      Hanya sekadar pengguna jasa pelayanan pendidikan yang tersedia. Misalnya, orang tua hanya memasukkan anaknya ke sekolah dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
2.      Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Misalnya dalam pembangunan gedung sekolah. Di antara tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Seperti telah diketahui bahwa karena kemajutm zaman, orang tua tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi yang berkembang saat ini, sekolah memiliki peranan penting. Oleh karena itu sekolah diupayakan sedemikian rupa agar mencerminkan suatu masyarakat yang perduli terhadap pentingnya pendidikan, sehingga peserta didik memperoleh peluang yang optimal dalam menyiapkan diri untuk melaksanakan peranannya.[14] Dengan alasan seperti inilah orang tua diharuskan dapat memberikan kontribusi dana, bahan, tenaga, pemikiran serta biaya-biaya lain yang mendukung kemajuan sekolah dapat tercapai sesuai yang diharapkan.
3.      Menerima secara pasif apapun yang diputuskan oleh pihak yang terkait dengan sekolah. misalnya melalui Komite Sekolah. Perlu diketahui Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah Iainnya. Komite sekolah bertujuan, yaitu:
a.       Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di satuan pendidikan.
b.      Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
c.       Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.[15]
Dengan demikian, keputusan yang dikeluarkan oleh pihak sekolah merupakan keputusan bersama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan menyatakan babwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat serta pihak terkait pada penyelenggara atau satuan pendidikan, yang dalam pelaksanaanya harus transparan, akuntabel, dan demokratis.[16]
Orang tua wajib memberi dukungan terhadap keputusan sekolah. Berdasarkan Keputusan Mendiknas  No. 044/U/2002, keberadaan Komite Sekolah berperan sebagai berikut:
a.       Pemberi pertimbangan (advisory egency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b.      Pendukung (suporting egency) baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c.       Pengontrol (controlling egency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d.      Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (legislatit) dengan masyarakat.[17]
Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan masyarakat, menciptakan suasana kondusif dan menyenagkan bagi peserta didik dan warga sekolah.[18] Dengan demikian, Komite Sekolah dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
4.      Menerima konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan kepentingan sekolah. Misalnya, kepala sekolah berkonsultasi dengan Komite Sekolah dan orang tua peserta didik mengenai masalah pendidikan, termasuk salah satunya masalah pembelajaran pendidikan agama Islam. Dengan melalui Komite Sekolah atau datang secara langsung kepala sekolah kepada orang tua peserta didik berkonsultasi untuk membicarakan kemajuan sekolah dan perkembangan pembelajaran peserta didik khususnya pembelajaran pendidikan agama Islam.
5.      Memberikan pelayanan tertentu. Misalnya, sekolah bekerjasama dengan mitra tertentu seperti Komite Sekolah dan orang tua peserta didik untuk melaksanakan kegiatan yang sifatnya kearah positif. Bagi peserta didik yang beragama Islam tentunya kegiatan tersebut diluangkan untuk melaksanakan kegiatan kurikuler dengan melaksanakan pengajian-pengajian atau ceramah-ceramah keagamaan, terutama pada perayaan hari-hari besar keagamaan Islam.
6.      Melaksanakan kegiatan yang telah didelegasikan atau dilimpahkan sekolah. Misalnya Komite Sekolah dan orang tua peserta didik tertentu untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat umum tentang pentingnya pendidikan atau hal-hal lain yang terpenting untuk kemajuan bersama, Hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua merupakan mitra kerja pihak sekolah yang selalu dilibatkan dalam kegiatan sekolah. Untuk itu, peran Komite Sekolah adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Di samping itu Komite Sekolah berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.[19]
7.      Mengambil peran dalam pengambilan keputusan pada berbagai jenjang. Misalnya, orang tua peserta didik ikut serta membicarakan dan mengambil keputusan tentang rencana kegiatan pembelajaran di sekolah, baik dalam pendanaan, pengembangan dan pengadaan alat pendidikan khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Islam.
Berdasarkan kajian tersebut peneliti berpendapat, bahwa peran serta orang tua dalam pembelajaran sangat penting. Karena tanpa peran serta orang tua, dalam kegiatan pembelajaran tidak berhasil sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu orang tua harus dilibatkan dalam berbagai bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Artinya bahwa orang tua bukan saja sebagai pemberi sumbangan dana dan lain sebagainya, tetapi juga orang tua terlibat langsung dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah.
B.     Peranan Guru dalam Fombelajaran
Dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran di sekolah dan madrasah, guru memegang peran utarna dan amat penting. Perilaku guru dalam proses pembelajaran, dapat memberi pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian peserta didiknya.[20]
Oleh karena itu, perilaku guru hendaknya dapat memberikan pengaruh baik kepada peserta didiknya. Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah, Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir, bahkan pada saat meninggal masih membutuhkan orang lain. Semua itu menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, demikian halnya peserta didik, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimilki oleh peserta didik tidak berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual, karena antara satu peserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar.[21]
Memahami uraian di atas, betapa besar jasa guru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan para peserta didik. Mereka memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterahkan masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa.
Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai berikut.
1.    Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.
2.    Teman, tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
3.    Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan, dan bakatnya.
4.    Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permsalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
5.    Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggungjawab.
6.    Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturahmi) dengan orang lain secara wajar.
7.    Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.
8.    Mengembangkan kreaktivitas.
9.    Menjadi pembantu ketika diperlukan.[22]
Untuk memenuhi tuntutan di atas, guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukkan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Untuk kepentingan tersebut, maka peran guru, yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pekerja rutin, dan evaluator.[23]
a.       Guru sebagai pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Berkaitan dengan tanggung jawab guru harus mengetahui serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran di sekolah, dan dalain kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan dengan wibawa, guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkannya. Guru juga mampu mengambil keputusan secara mandiri (independent), terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi, serta hertindak sesuai dengan kondisi peserta didik, dan lingkungan. Guru harus mampu bertindak dan mengambil keputusan secara cepat, tepat waktu, dan tepat sasaran, terutama berkaitan dengan masalah pembelajaran dan peserta didik, tidak menunggu perintah atasan atau kepala sekolah. Sedangkan disiplin, dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas kesadaran profesional, karena mereka bertugas untuk mendisplinkan para peserta didik di sekolah, terutama dalam pembelajaran. Oleh karen itu dalam menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya.
b.      Guru sebagai pengajar
Sejak adanya kehidupan, sejak itu pula guru telah mclaksanakan pembelajaran, dan memang hal tersebut merupakan tugas dan tanggung jawabnya yang pertama dan utama. Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari.
Menurut paradigma baru guru bukan hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi sebagai motivator dan fasilitator pada kegiatan pembelajaran.[24] Dimaksudkan dengan kegiatan pembelajaran tesebut adalah realisasi dan aktualisasi sifat-sifat Ilahi pada manusia, yaitu aktualisasi potensi-potensi manusia agar dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya. Namun, dengan perkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi yang begitu pesat perkembangannya, belum mampu menggantikan peran dan fungsi guru, hanya sedikit menggeser atau mengubah fungsinya, itupun terjadi di kota-kota besar saja, ketika para peserta didik memiliki berbagai sumber belajar di rumahnya.
Perkembangan teknologi mengubah peran guru dari pengajar yang bertugas menyampaikan materi pembelajaran menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan teknologi menimbulkan banyaknya buku dengan harga relatif murah, kecuali atas ulah guru. Di samping itu, para peserta didik dapat belajar dari berbagai sumber seperti radio, televisi, berbagai macam film pembelajaran, bahkan program internet atau electronic learning. Oleh karena itu, guru sebagai pengajar ia harus mamiliki tujuan yang jelas, membuat keputusan secara rasional agar peserta didik memahami keterampilan yang dituntut oleh pembelajaran.
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para peserta didik agar mereka menjadi peserta didik yang selaras dengan tujuan sekolah itu. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik sosial, budaya, maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai peranan dan mau tidak mau guru harus melaksanakannya sebagai profesi keguruamnya.[25]
Untuk kepentingan tersebut, perlu dibina hubungan yang positif antara guru dengan peserta didik. Hubungan ini menyangkut bagaimana guru merasakan apa yang dirasakan para peserta didiknya dalam pembelajaran, serta bagaimana peserta didik merasakan apa yang dirasakan gurunya. Sebaliknya guru mengetahui bagaimana peserta didik memandangnya, karena hal tersebut sangat penting dalam pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini menjadi jelas jika secara hati-hati menguji bagaimana guru merasakan apa yang dirasakan peserta didik dalam pembelajaran.
c.       Guru sebagai pembimbing
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum terhadap sekolah, keluarga, serta masyarakat. Dalam keseluruhan proses pendidikan guru merupakan faktor utuma. Dalam tugasnya sebagai pendidik, guru memegang peranan penting yang mau tidak mau harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan (journey), yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral, dan spritual yang lebih dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Semua itu dilakukan berdasarkan kerjasama yang baik dengan peserta didik, tetapi guru memberikan pengaruh utama dalam setiap aspek perjalanan. Sebagai pembimbing, guru memiliki berbagai hak dan tanggung jawab dalam setiap perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakannya.[26]
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut: Perama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifIkasi kompetensi yang hendak dicapai. Kedua, guru barus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis. Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar. Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.[27]
Dengan demikian, guru sebagai pembimbing dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk membentuk kompetensi kepada peserta didik dalam mencapai ttijuan yang dicita-citakan.
d.      Guru sebagai pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar, sesuai dengan potensi masing-masing.
Pelatihan yang dilakukan, di samping harus memperhatikan kompetensi dasar dan materi standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta didik, dan lingkungannya. Untuk itu, guru harus banyak tahu, meskipun tidak mencakup semua hal, dan tidak setiap hal secara sempurna, karena hal itu tidaklah mungkin. Benar bahwa guru tidak dapat mengetahui sebanyak yang harus diketahui, tetapi dibanding orang yang belajar bersamanya dalam bidang tertentu yang menjadi tanggung jawabnya, Ia harus lebih banyak tahu. Meskipun demikian, tidak mustahil kalau suatu ketika menghadapi kenyataan bahwa guru tidak tahu tentang sesuatu yang seharusnya tahu. Dalam keadaan demikian, guru harus berani berkata jujur, dan berkata, “saya tidak tahu”. Kebenaran adalah sesuatu yang amat mulia, namun jika guru terlalu banyak berkata, “saya tidak tahu” maka bukanlah guru profesional. Untuk itu guru harus selalu belajar, belajar sepanjang hayat, dan belajar adalah sesuatu yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Oemar Hamalik berpendapat, belajar meliputi tidak hanya mata pelajaran, tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita.[28] Dengan demikian, belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dan persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap.
e.       Guru sebagai penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Banyak guru cenderung menganggap bahwa konseling terlalu banyak membicarakan klien, seakan-akan berusaha mengatur kehidupan orang, dan oleh karenanya mereka tidak senang melaksanakan fungsi ini. Padahal menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi penasehat dan menjadi kepercayaan, kegiatan pembelajaranpun meletakkannya pada posisi tersebut. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan, dan dalam prosesnya selalu berkonsultasi dengan gurunya. Makin efektif guru menangani setiap permasalahan, makin banyak kemungkinan peserta didik berpaling kepadanya untuk mendapatkan nasehat dan kepercayaan diri.
f.       Guru sebagai model dan teladan
Sejak dulu, guru menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh para peserta didik di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru tentu mendapat sorotan dari peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru.
Tampaknya masyarakat mendudukkan guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan masyarakat, yakni di depan memberi suri teladan, di tengah-tengah membangun, dan di belakang memberikan dorongan dan motivasi (ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani).[29] Kedudukan guru yang demikian itu senantiasa relevan dengan zaman dan sampai kapan pun diperlukan. Kedudukan seperti itu merupakan penghargaan masyarakat yang tidak kecil artinya bagi para guru, sekaligus merupakan tantangan yang menuntut prestise dan prestasi yang senantiasa terpuji dan teruji dari setiap guru, bukan saja di depan kelas, tidak saja di batas-batas pagar sekolah, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat.
Secara teoretis, menjadi teladan merupakan bagian. integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu.[30] Pertanyaan yang timbul adalah apakah guru harus menjadi teladan baik di dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam seluruh kehidupannya? Dalam beberapa hal memang benar bahwa guru harus bisa menjadi teladan di kedua posisi itu, tetapi jangan sampal hal tersebut menjadikan guru tidak memiliki kebebasan sama sekali. Dalam batas-batas tertentu, sebagai manusia biasa tentu saja guru memiliki berbagai kelemahan, dan kekurangan. Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian Ia menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan perlu diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
g.      Guru sebagai pribadi
Secara umum, kepribadian dapat diartikan sebagai keseluruhan kualitas perilaku individu yang merupakan cirinya yang khas dalam berinteraksi dengan lingkungannya.[31] Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang menceminkan seorang pendidik. Kepribadian guru dapat menentukan bagi keberkesanannya dalam melaksanakan tugasnya. Sebab kepribadian sesungguhnya adalah abstrak (manawi), sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan.[32] Misalnya dalam tindakannya, ucapan, cara bergaul, berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah baik yang ringan maupun yang berat. Jadi, kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna demikian, seluruh sikap dan perbuatan seseorang yang merupakan suatu gambaran dan kepribadian orang itu, asal dilakukan dengan sadar.
Kepribadian guru, terlebih guru pendidikan agama Islam, tidak hanya menjadi dasar bagi guru untuk berperilaku, tetapi juga menjadi model keteladanan bagi para peserta didiknya dalam perkembangannya. Oleh karen itu, kepribadian guru perlu dibina dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Tuntutan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru dapat digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru dapat dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya dapat ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal.
Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui babwa tiap orang rnempunyai temparamen yang berbeda dengan orang lain. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental sangat berguna. Guru yang mudah marah dapat ditakuti oleh peserta didiknya dan ketakutan dapat mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran serta rendahnya konsentrasi, karena ketakutan menimbulkan kekuatiran untuk dimarahi dan hal ini mengganggu konsentrasi peserta didik.
Salah satu hal yang perlu dipahami guru untuk mengefektifkan proses pembalajaran adalah bahwa semua peserta didik dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah terpuaskan, dan mereka semua memiliki potensi untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Untuk kepentingan tersebut, perlu dikondisikan dengan lingkungan yang kondusif dan menantang rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.
h.      Guru sebagai peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperiukan berbagai penelitian, yang di dalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Dia tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu, oleh karena itu dia sendiri merupakan subyek pembelajaran. Dengan kesadaran bahwa ia tidak mengetahui sesuatu maka Ia berusaha mencarinya melalui kegiatan penelitian. Untuk mencari sesuatu itu adalah mencari kebenaran, seperti seorang ahli filsafat yang senantiasa mencari, menemukan dan mengemukakan kebenaran.
i.        Guru sebagai pendorong kreaktivitas
Kreaktivitas merupakan hal yang penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreaktivitas tersebut. Kreaktivitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan di sekitarnya. Kreaktivitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu. Bersikap kreatif membangun dan menghasilkan karya pendidikan seperti pembuatan alat bantu belajar, analisis materi pembelajaran, penyusunan alat penilaian beragam, perancangan beragam organisasi kelas dan perancangan kebutuhan pembelajaran lainya.[33]
Sebagai orang yang kreatif, guru menyadari bahwa kreaktivitas merupakan yang universal dan oleh karenanya semua kegiatannya ditopang, dibimbing dan dibangkitkan oleh kesadaran itu. Ia sendiri adalah seorang kreator dan motivator, yang berada di pusat proses pendidikan. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik menilainya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreaktivitas menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya dan apa yang dikerjakan di masa mendatang lebih baik dari sekarang.
j.          Guru sebagai pekerja rutin
Guru bekerja dengan keterampilan, dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya. Di samping itu, jika kegiatan rutin tidak disukai, bisa merusak dan mengubah sikap umumnya terhadap pembelajaran. Sebagai contoh, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus membuat persiapan tertulis, jika guru membenci atau tidak menyenangi tugasnya, maka dapat merusak keefektifan pembelajaran. Sedikitnya terdapat 17 (tujuh betas) kegiatan rutin yang sering dikerjakan guru dalam kegiatan pembelajaran, yaitu:
1)        Bekerja tepat waktu baik di awal maupun akhir pembelajaran.
2)        Membuat eatatan dan laporan sesuai dengan standar kinerja, ketepatan dan jadwal waktu.
3)        Membaca, mengevaluasi dan mengembalikan basil kerja peserta didik.
4)        Mengatur kehadiran peserta didik dengan penuh tanggung jawab.
5)        Mengatur jadwal, kegiatan harian, mingguan, semesteran, dan tahunan.
6)        Mengembangkan peraturan dan prosedur kegiatan kelompok, termasuk diskusi.
7)        Menetapkan jadwal kerja peserta didik.
8)        Mengadakan pertemuan dengan orang tua dan dengan peserta didik.
9)        Mengatur tempat duduk peserta didik.
10)    Mencatat kehadiran peserta didik.
11)    Memahami peserta didik.
12)    Menyiapkan bahan-bahan pembelajaran, kepustakaan, dan media pembelajaran.
13)    Menghadiri pertemuan dengan guru, orang tua peserta didik dan alunmi.
14)    Menciptakan iklim kelas yang kondusif.
15)    Melaksanakan latihan-latihan pembelajaran.
16)    Merencanakan program khusus dalam pembelajaran, misalnya karyawisata.
17)    Menasehati peserta didik.[34]
Iklim belajar menentukan situasi pembelajaran yang produktif dan kreaktif, dan bergantung pada derajat kemahiran serta gaya kegiatan rutin tersebut dilaksanakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan rutin yang diterima oleh semua pihak merupakan syarat yang diperlukan bagi kebebasan, pemahaman dan kreaktivitas. Tanpa adanya kegiatan rutin, tidak terdapat kekuatan atau kesempatan untuk mencoba alternatif kegiatan sebagai hal pokok dan kebebasan, pemahaman yang mendalam, dan kreaktivitas.
k.        Guru sebagai evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Tidak ada pembelajaran tanpa penilalan, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik.
Sebagai suatu proses, penilaian dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan dengan teknik yang sesuai tes atau nontes. Teknik apapun dipilih, penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Selain menilai hasil belajar peserta didik, guru harus pula menilai dirinya sendiri, baik sebagai perencana, pelaksana, maupun penilai program pembelajaran. Oleh karena itu, menurut Sjarkawi, ada empat yang harus diperhatikan oleh guru, yaitu nilai moral, nilal sosial, nilai undang-undang, dan nilai agama.[35] Artinya bahwa dia harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang penilaian program sebagaimana memahami penilaian hasil belajar. Sebagai perancang dan pelaksana program, dia memerlukan balikan tentang efektivitas programnya agar bisa menentukan apakah program yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan sebik-baiknya. Perlu diingat bahwa penilaian bukan merupakan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian, guru juga dapat dikatakan sebagai tenaga profesional dalam bidangnya, Dikatakan sebagai tenaga profesional karena guru bertugas untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.[36] Untuk itu, guru adalah seorang yang profesional dan memiliki ilmu pengetahuan, serta mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sehingga orang tersebut mempunyai peningkatan dalam kualitas sumber daya manusianya.
Ada alasan secara empirik dan rasional mdngapa guru dikatakan sebagai tenaga profesional, yaitu karena guru menjalankan pekerjaan atau jabatannya sesuai dengan tuntutan profesi dan sikap menuntut profesinya. Dimana guru adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, penilai, mengevaluasi, perencana, dan pelaksana. Seiring dengan itu, Syafaruddin menjelaskan alasan empirik dan rasional sehingga pekerjaan mengajar sebagai profesi, yaitu: Pertama, mengajar dilaksanakan atas dasar sistem yang memeriukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik; Kedua, mengajar membutuhkan pengetahuan yang bersifat teoretis tentang pendidikan dan mengajar; Ketiga mengajar membutuhkan pendidikan dan latiban sehingga memiliki keterampilan keguruan.[37]
Sedangkan untuk menunjang profesi keguruan seorang guru harus memiliki 10 karakteristik, yaitu:
1) Memiliki keahlian dibidangnya, 2) Sebagai panggilan hidup, 3) Memiliki teori-teori baku, 4) Profesi untuk masyarakat, 5) Memiliki kecakapan diagnistik dan kompetensi aplikatif, 6) Memiliki otonomi dalam melakukan profesi, 7) Mempunyai kode etik, 8) Mempunyai kiien yang jelas (peserta didik), 9) Ada organisasi profesi, 10) Memiliki hubungan dengan bidang-bidang lain.[38]
Dengan demikian, guru harus pula memiliki kualifikasi pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau kepribadian untuk dihargai di tengah-tengah masyarakat luas. Untuk itu, ada tiga kualifikasi utama profesi yang harus dimiliki guru, yaitu: 1) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan menguasai proses tertentu, yang diukur melalui ujian. Dia harus menguasai materi bagi pelaksanaan profesinya. 2) Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menggunakan ilmu pengetahuannya dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. 3) Memiliki karakter atau kepribadian, sehingga dapat dihargai dan dibanggakan oleh masyarakatnya.[39]
Ketiga kualifikasi di atas, merupakan kunci sukses profesional yang dapat mengangkat profesional para guru. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan dalam, serta mcnguasai proses intelektual dengan baik menimbulkan rasa hormat terhadap guru itu sendiri.
Peranan penting guru dalam pembelajaran adalah sebagai director of learning (direktur belajar). Artinya, setiap guru diharapkan untuk pandai-pandai mengarahkan kegiatan belajar peserta didik untuk mencapai keberhasilan belajar (kinerja akademik) sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sasaran kegiatan pembelajaran.[40] Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa peranan guru dalam pembelajaran dan dunia pendidikan modem seperti sekarang semakin meningkat dan sekadar pengajar menjadi direktur belajar. Konsekuensinya, tugas dan tanggung jawab gurupun menjadi lebih kompleks dan berat pula.
Perluasan dan tanggung jawab guru tersebut membawa konsekuensi timbulnya fungsi-fungsi khusus yang menjadi bagian integral (menyatu) dalam kompetensi profesionalisme keguruan yang disandang oleh para guru. Menurut Gagne yang dikutip Muhibbin Syah, setiap guru berperan sebagai: 1) Desainer of instructiaon (perancang pengajaran), 2) Manager of instruction (pengelola pengajaran), 3) Evaluator of student learning (penilai prestasi be1ajar peserta didik).[41]
a.       Guru sebagai designer of instruction
Guru sebagai designer of instruction (perancang pengajaran). Peran ini menghendaki guru untuk senantiasa mampu dan siap merancang kegiatan pembeiaj aran yang berh asilguna dan berdayaguna.
Untuk merealisasikan peran tersebut, setiap guru memerlukan pengetahuan yang mcmadai mengenai prinsip-prinsip belajar sebagai dasar dalam rnenyusun rancangan kegiatan pembelajaran. Rancangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi hal-hal scbagai berikut: 1) Memilih dan menentukan materi pembelajaran. 2) Merumuskan tujuan penyajian materi pembelajaran. 3) Memilih metode penyajian mated pembelajaran yang tepat. 4) Menyelenggarakan kegiatan evaluasi prestasi belajar.
b.        Guru sebagai manager of instruction
Guru sebagai manager of instruction, artinya guru sebagai pengelola pengajaran. Peran ini menghendaki kemampuan guru dalam mengelolah (menyelenggarakan dan mengendalikan) seluruh tahapan dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pengelolaan pembelajaran yang terpenting adalah menciptakan kondisi dan situasi sebai-baiknya, sehingga memungkinkan para peserta didik secara berdayaguna dan berhasilguna.
c.         Guru sebagai evaluator of student learning
Guru sebagai evaluator of student learning, yakni sebagai penilai hasil pembelajaran peserta didik. Peran ini menghendaki guru untuk senantiasa mengikuti perkembangan taraf kemajuan prestasi helajar atau kinerja akademik peserta didik dalam setiap kurun waktu pembelajaran. Pada dasarnya, kegiatan evaluasi prestasi belajar itu seperti kegiatan belajar itu sendiri, yakni kegiatan akademik yang memerlukan kesinambungan. Evaluasi, idealnya berlangsung sepanjang waktu selama kegiatan pembelajaran tetap berlangsung sepanjang hayat.
Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran sangat penting, karena guru merupakan ujung tombak dan semua proses penelidikan demi untuk mencapai keberhasilan peserta didiknya.
C.       Kerfasarna Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran
Sudah sewajarnya bahwa keluarga, terutama orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan rasa kasih sayang. Perasaan kewajiban dan tanggung jawab yang ada pada orang tua untuk mendidik anak-anaknya timbul dengan sendirinya, secara alami, tidak karena dipakasa atau disuruh oleh orang lain. Demikian pula, perasaan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya adalah kasih sayang sejati, yang timbul dengan spontan, tidak dibuat-buat. Di rumah anak menerima kasib sayang yang besar dan orang tuanya. Menggantungkan diri sepenuhnya kepada orang tuanya. Sedangkan sekolah adalah buatan manusia. Sekolah didirikan oleh masyarakat atau negara untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah tidak mampu lagi memberi bekal persiapan hidup bagi anak-anaknya. Untuk mempersiapkan anak agar hidup dengan cukup bekal dengan kepandaian dan kecakapan dalam masyarakat yang modern, yang telah tinggi kebudayaannya seperti sekarang ini, anak-anak tidak cukup hanya menerima pendidikan dan pengajaran dari keluarganya saja. Maka dari itulah, masyarakat atau negara mendirikan sekolah-sekoiah. Guru sebagai pendidik adalah lain dari orang tua.
Orang tua menerima tugasnya sebagai pendidik dari Tuhan atau karena sudah menjadi kodratnya. Guru menerima tugas dan kekuasaan sebagai pendidik dari pemerintah atau negara.[42]
Penyelenggaraan pendidikan baik pemerintah maupun swasta hams berani mengambil sikap dan wawasan bahwa mau tidak mau setiap sekolah harus melibatkan masyarakat setempat, terutama orang tua peserta didik, dalam pengembangan pendidikannya. Pemberdayaan semua komponen yang terkait (stakeholder) dapat memberikan perubahan positif terhadap perkembangan sekolah, baik dari peningkatan kualitas pembelajaran peserta didiknya maupun peningkatan sarana dan prasarana di sekolah tersebut.[43]
Dari penjelasan tersebut, maka pendekatan yang terus-menerus dikembangkan adalah pendekatan partisipatif, di mana masyarakat khususnya orang tua peserta didik dan pihat yang terkait diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bersama-sama mengalisis seluruh infrastruktur yang ada di sekolah, apakah itu menyangkut sumber daya manusia (SDM), kurikulum, sarana prasarana, finansial, sistem informasi, dan semua yang dianggap punya keterkaitan dengan sekolah tersebut.
Keterbatasan kemampuan (intelektual, biaya, waktu) orang tua menyebabkan ia mengirim anaknya ke sekolah. Orang tua meminta kepada sekolah atau guru agar dapat membantunya untuk mendidik (mendewasakan) anaknya. Inilah dasar kerjasama antara orang tua dan guru dalam kegiatan pembelajaran. Dasar ini telah disadari sejak dahulu hingga sekarang. Hanya saja, sekarang ini kesadarari sebagian orang tua pada prinsip itu semakin berkurang. Orang tua cenderung menuntut biaya sekolah anaknya semurah mungkin, jika mungkin gratis. Bila anaknya nakal atau prestasi nilai akademiknya jelek, orang tua cenderung menyalahkan guru di sekolah. Padahal sekolah itu tadinya memang hanya membantu orang tua. Sekarang dibalik, orang tua malahan merasa membantu sekolah. Sekali lagi orang tua adalah pendidik pertama dan utama, sekolah hanyalah pendidik kedua dan hanya membantu. Ini perlu benar disadari kembali oleh orang tua zaman sekarang.
Prinsip itu lebih penting lagi dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam terutama mengenai pendidikan keimanan peserta didik. Usaha pendidikan keimanan memang hanya sedikit sekali yang dapat dilakukan di sekolah. Padahal penanaman iman itu adalah inti dan pendidikan agama Islam. Sejalan dengan itu, Ahmad Tafsir menyatakan, orang tua harus menyelenggarakan pendidikan keimanan di rumah tangga. Dalam hal ini, sekalipun guru berperan banyak, ia tidak mungkin mampu memainkan peran itu.[44] Kadang-kadang orang tua terlambat menyadari perlunya kerjasama ini, maka pihak sekolah atau guru diharapkan mengambil inisiatif untuk menjalin kerjasama itu.
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah kerjasama orang tua dan guru sangat penting dan strategis terhadap peningkatan kualitas pendidikan peserta didiknya. Kejasama orang tua dan guru dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam hal melaksanakan kegiatan pembelajaran. Guru dapat memperoleh keterangan-keterangan dan orang tua tentang kehidapan dan sifat-sifat anak-anaknya. Keterangan-keterangan orang tua itu besar manfaatnya bagi para guru dalarn memberikan materi pembelajaran terhadap peserta didiknya, serta dapat mengetahui keadaan alam sekitar tempat peserta didik dibesarkan. Demikian pula, orang tua dapat mengetahui kesulitan-kesulitan manakah yang sering dihadapi anak-anaknya di sekolah. Orang tua dapat mengetahui apakah anaknya itu rajin, malas, bodoh, suka mengantuk, atau pandai, dan sebagainya. Dengan demikian, orang tua dapat menjauhkan pandangan yang keliru dan pendapat yang salah sehingga terhindar dari salah pengertian yang mungkin timbul antara orang tua dan guru. Orang tua yang bersikap menerima anak yang berkesulitan belajar apa adanya adalah yang paling positif, yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Sesungguhnya sulit untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan menerima anak apa adanya. Menurut Robinson yang dikutip Mulyono Abdurrahmau, yang dimaksud dengan menerima anak apa adanya adalah menghargai apa yang dimiliki anak, menyadari kekurangannya, dan aktif menjalin hubungan yang menyenangkan dengan anak.[45]
Bertolak dari penghargaan atas apa yang dimiliki anak dan penerimaan atas apa yang tidak dimiliki anak, orang tua menjalin hubungan yang wajar dan berupaya mengembangkan potensi yang dimiliki anak untuk mempersiapkan tugasnya dimasa depan. Dengan demikian, guru juga perlu melakukan usaha-usaha untuk menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik untuk membicarakan hal apa yang perlu dibicarakan tentang kegiatan pembelajaran di sekolah. Usaha-usaha yang dapat dilakukan guru untuk mengadakan kerjasama dengan orang tua dalam kegiatan pembelajaran, yaitu:
1.        Mengadakan pertemuan dengan orang tua pada hari penerimaan peserta didik baru, serta membicarakan tentang perlunya kerjasama dalam mendidik anak-anaknya agar jangan sampai timbul salah paham, mengadakan sekadar ceramah tentang cara-cara mendidik anak-anak yang baru masuk sekolah, dan lain sebagainya.
2.        Mengadakan surat-menyurat antara sekolah atau guru dengan pihak keluarga atau orang tua peserta didik, terutama pada waktu-waktu yang sangat diperlukan bagi perbaikan pendidikan anak-anak. Seperti surat peringatan dari guru kepada orang tua jika anaknya perlu lebih giat, sering mangkir atau bolos pada saat materi pembelajaran sedang berlangsung.
3.        Adanya daftar nilai atau buku laporan yang setiap semester atau catur wulan dibagikan kepada peserta didik. Pada saat inilah guru meminta bantuan kepada orang tua peserta didik untuk memperhatikan prestasi keberhasilan anaknya.
4.        Kunjungan guru-guru ke rumah orang tua peserta didik, atau sebaliknya kunjungan orang tua peserta didik ke sekolah. Hal ini lebih menguntungkan daripada hanya mengadakan surat-menyurat saja. Tentu saja kunjungan guru ke rumah orang tua peserta didik itu dilakukan bilamana diperlukan, misalnya, untuk membicarakan kesulitan-kesulitan yang dialami di sekolah terhadap anak-anknya atau mengunjungi peserta didik yang sembuh dan sakitnya untuk sekadar memberi hiburan. Umumnya, orang tua merasa senang atas kunjungan guru itu karena Ia merasa bahwa anaknya sangat diperhatikan oleh gurunya.
5.        Mengadakan perayaan pesta sekolah atau pameran-pameran hasil karya peserta didik.
6.        Mendirikan perkumpulan orang tua peserta didik dan guru atau dikenal dengan Komite Sekolah.[46]
Dengan adanya wadah tesebut, dapat memberikan informasi kepada kedua belah pihak antara guru dan orang tua tentang peningkatan kegiatan pembelajaran oleh peserta didik baik di sekolah maupun di rumah.
Seiring dengan itu C. Drew Edwards menegaskan, bahwa orang tua harus menghadiri pertemuan itu jika memungkinkan. Hal ini tidak hanya menyiratkan pesan bahwa semua orang tertarik untuk membantu anak dan gurunya, tetapi juga memastikan semua orang yang terlibat pesan yang sama. Guru-guru merasa lebih mendapatkan dukungan ketika orang tua datang dan membantu mereka memperhatikan anak mereka.[47]
Dari penjelasan itu, peneliti berpendapat bahwa dengan terjalinnya kerjasama orang tua dan guru yang baik, dapat memudahkan hubungan yang harmonis antara keduanya, sehingga kegiatan pembelajaran baik dilaksanakan di sekolah maupun di rumah berjalan dengan baik. Karena orang tua tidak mungkin memberikan pengetahuan sepenuhnya kepada anak-anaknya tanpa adanya guru, begitu pula sebaliknya guru tidak berhasil pembelajaran tanpa adanya perhatian orang tua terhadap kegiatan belajar anaknya.

D.      Bentuk-bentuk Kerjasama Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran
Seperti telah digambarkan sebelumnya kerjasama memiliki tujuan agar orang tua mengetahui berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah, untuk kepentingan peserta didik. Dalam rangka menunjang tujuan tersebut, B. Mulyasa mengemukakan, bahwa kerjasama guru dan orang tua dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, yaitu adanya kegiatan pembelajaran, pengembangan bakat, pendidikan mental dan kebudayaan.[48]
Keempat bentuk kerjasama tersebut, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.        Kerjasama dalam bentuk proses pembelajaran
Pemahaman awam seringkali dipahami bahwa kegiatan pembelajaran di sekolah tidak memiliki hubungan dengan orang tua atau keluarga, hal ini agak keliru, sebab, setelah guru memberikan pelajaran (intrakurikuler) peserta didik diberi tugas (ekstrakurikuler) untuk diselesaikan di rumah. Disinilah peran orang tua dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dimaksudkan, untuk memberikan bantuan dan kemudahan belajar bagi peserta didik, misalnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah, orang tua harus membantu menjelaskan hal-hal yang belum diketahui oleh sang anak. Kalau belum mengerti tugas yang dibebankari kepada anaknya, orang tua harus menanyakan kepada gurunya sehingga dapat membantu kelancaran belajar anaknya.[49] Bentuk kerjasama ini banyak memberi manfaat pada perkembangan prestasi belajar peserta didik, sebab guru dan orang tua sama-sama memberi kemudahan pada peserta didik untuk berkembang melalui bimbingan dan bantuan belajar.
2.        Kerjasarna dalam bentuk pengembangan bakat.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama orang tua (keluarga), sekolah, dan masyarakat. Sebagai pendidik, balk orang tua maupun guru, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan jiwa anak. Kedua tokoh ini mempunyai wewenang mengarahkan perilaku peserta didik dan menuntutnya mengikuti patokan-patokan perilaku sebagaimana diinginkan.
Bagaimana cara mengetahui bakat anak yang dimiliki? Adakab cara efektif yang dapat dilakukan agar mengetahui apakah ketertarikannya memang dari bakat yang ada atau hanya sekadar kesenangan sementara? Untuk menjawab pertanyaan itu, Agnes Tri Harjaningrum, et al., mengidentifikasi secara umum melalui karakteristik anak berbakat, sebagai berikut:
a.         Anak dengan mudah melakukan/mempelajari hal yang menjadi bakatnya tanpa ada campur tangan orang lain.
b.        Anak senang/tak merasa terbebani untuk berlatih atau mencoba berkreasi dengan challenging (menantang).
c.         Anak menyukai kreasi dan memiliki aspirasi (pemahaman dan penghargaan) yang tinggi terhadap hal yang menjadi bakat dan minatnya.
d.        Anak tidak pernah merasa bosan dan selalu “mencari” kegiatan yang berhubungan dengan keberbakatannya. Ia memilki motivasi internal yang sangat kuat.
e.         Anak biasanya mempunyai kemampuan pada bidang tertentu yang amat menonjol sekali dibanding dengan kemampuan lainnya.
f.         Tanpa digali, kemampuannya sudah muncul sendiri.[50]
Dengan mengidentifiakasi bakat anak seperti di atas, orang tua dan guru bekerja sama untuk melanjutkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing anak atau peserta didik agar tidak merasa kesulitan melanjutkan bakatnya. Misalnya peserta didik berbakat dalam bidang pembelajaran di sekolah baik dibidang sains, dibidang keagamaan maupun dibidang-bidang lainnya, peran orang tua dan guru bertanggung jawab dan mendukungnya dengan sepenuh hati.
Jika orang tua terutama bertanggung jawab terhadap kesejahteraari fisik dan mental peserta didik selama peserta didik itu berada di rumah, sedangkan di lingkungan sekolah guru bertugas merangsang pertumbuhan sikap-sikap dan nilai-nilai dalam din peserta didik. Seiring dengan itu, S.C. Utami Munandar mengatakan, orang tua dan guru saling melengkapi dalam pembinaan peserta didik dan diharapkan ada saling pengertian dan kerjasama yang erat antara keduanya, dalam usaha mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan jiwa peserta didik.[51]
Orang tua dapat membantu guru dalam merencanakan dan menyelenggarakan bakat peserta didik dalam hal kegiatan pembelajaran terutama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam. Yakni memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengebangkan bakatnya seperti melaksanakan lomba-lomba pengajian Al-Quran dan lomba pidato keagamaan lainnya. Setiap peserta didik memiliki bakat yang perlu dikembangkan. Pengembangan hakat anak ini sangat baik dilakukan orang tua dan guru di sekolah. Selanjutnya E. Mulyasa mengatakan, kerjasama dalam bentuk pengembangan bakat dimaksudkan untuk pengembangan bakat peserta didik agar dapat berkembang secara optimal. Hal ini penting karena pada dasarnya pada waktu belajar peserta didik di sekolah sangat terbatas sebingga pengembangan bakat tidak dilakukan secara optimal. Dengan demikian, guru dapat memberitahukan kepada orang tua peserta didik mengenai bakat-bakat atau potensi anak yang perlu dibina dan dikembangkan di rumah.[52]
Pembinaan dan pengembangan bakat peserta didik di rumah dapat dilakukan langsung oleh orang tua atau keluarga untuk menitipkannya pada lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah, seperti pesantren dan pendidikan khursus Iainnya. Dengan demikian, peserta didik yang belum berkembang secara optimal di sekolah dapat disalurkan oleh orang tuanya ke tempat kursus-kursus lainnya. Hal ini merupakan cara yang paling efektif yang dilakukan antara orang tua dan guru untuk pengembangan bakat peserta didik dan untuk mencegah kenakalan peserta didik, serta kecenderungan keterliban mereka dalam hal-hal negatif.
3.        Keijasama dalam bentuk pendidikan mental
Dalam kehidupan rumah tangga kadang-kadang terjadi konflik antar suami dan istri, sehingga turut mempengaruhi mental anak, Kondisi seperti ini juga tentu dibutuhkan cara efektif untuk menanggulanginya. Dengan demikian, kerjasama dalam bidang pendidikan mental dilakukan terutama untuk mcnghadapi masalah kesulitan belajar peserta didik, karena kondisi rumah tangga yang kacau, misalnya peserta didik tinggal bersama ibu tiri atau bapak tiri. Rumah tangga yang kurang kondusif seperti ini sangat mempengaruhi mental peserta didik di sekolah, bahkan dia menjadi pemurung atau frustasi. Situasi yang demikian, perlu diupayakan agar jangan sampai menggaggu perkembangan kepribadian peserta didik. Jika di sekolah terdapat asrama sekolah, pihak sekolah dapat mengambil inisiatif untuk menyarankan peserta didik tersebut tinggal di asrama agar pengaruh lingkungan keluarga yang kurang kondusif dapat ditekan dan dikurangi sedemikian rupa.[53]
Apa yang menjadi target dari bentuk kerjasama di bidang pendidikan mental di atas adalah tercapainya tujuan kerjasama, yaitu menciptakan peserta didik yang bermental baik, berprestasi dan berakhlak mulia.
4.        Kerjasama dalam bidang kebudayaan
Salah satu bidang kebudayaan yalig dipelajari peserta didik di sekolah adalah bahasa Indonesia, melihat pentingnya kebudayaan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, kerjasama dibidang ini juga diperlukan. Kerjasama dalam bidang kebudayaan, terutama dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak di sekolah diberi pelajaran bahasa Indonesia yang baik, tetapi di rumah iklimnya tidak seperti di sekolah, perkembangan bahasanya pasti jelek. Oleh sebab itu, orang tua harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sehingga baik situasi di rumah maupun di sekolah menunjang kemampuan berbahasa peserta didik. Di samping itu juga perlu adanya disiplin, kebersihan, dan keindahan berbusanapun perlu diusahakan agar serasi dengan keadaan pada saat itu. Islam pun telah menegaskan dalam frrman Allah swt., dalam Q.S. Al-A’raf/7: 26 sebagai berikut:
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqムöNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)­G9$# y7Ï9ºsŒ ׎öyz 4 šÏ9ºsŒ ô`ÏB ÏM»tƒ#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbr㍩.¤tƒ ÇËÏÈ  
Terjemahan
Hai anak Adam sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk periasan, dan pakaian takwa itulah yang paling baik, yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.[54]
Ayat tersebut mengandung makna, bahwa berpakaian itu tidak perlu yang mentren, cukup yang sederhana saja tetapi bersih, indah dengan menutupi aurat. Karena berpakaian yang indah, rapi, bersih dengan menutup aurat itulah pakaian takwa yang diridhai Allah swt.
Kerjasama dalam bidang kebudayaan tidak hanya bermanfaat bagi pelestarian budaya bangsa, tetapi dapat pula memperkaya pengetahuan dan kemampuan peserta didik memahami ajaran agarnanya dengan baik dan benar, yaitu memiliki budaya yang Islami, misalnya pentingnya kebersihan, berbahasa dan bertutur kata yang sopan, serta cara berbusana yang baik, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk kerjasama tersebut, dapat dilakukan dengan cara menjalin hubungan orang tua dengan sekolah melalui dewan sekolah, seperti Komite Sekolah yaitu badan mandiri masyarakat yang berada di sekolah, untuk selalu mengadakan pertemuan orang tua dan guru dalam rangka penyerahan buku laporan pendidikan peserta didik dan ceramah ilmiah lainnya.
a.         Melalui dewan sekolah
Dewan sekolah merupakan suatu organisasi yang berfungsi untuk menjalin hubungan antara orang tua dan sekolah dalam rangka melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Tujuan pembentukan dewan sekolah adalah untuk mengembangkan visi dan misi sekolah serta program-program strategis lainnya.[55] Implikasi dan program tersebut membuat sekolah mempunyai otonomi yang luas dalam menentukan programnya. Otonomi sekolah meliputi kewenangan dalam merancang pembiayaan, mengontrol pemakaian, dan mempertanggung-jawabkannya kepada semua pihak yang terkait (stake holder).
Anggota dewan sekolah terdiri dan kepala sekolah, guru, dan beberapa tokoh masyarakat serta orang tua yang memiliki potensi dan perhatian besar terhadap proses pendidikan di sekolah.[56] Pada hakekatnya dewan sekolah dibentuk untuk membantu menyukseskan kelancaran pembelajaran di sekolah, baik menyangkut perencanaan, pelaksanaan, dan maupun penilaian. Dibentukaya dewan sekolah terutama dalam kaitan dengan masalah relevansi pendidikan dapat diwujudkan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang dimaksud adalah yang ada dalarn kurikulum, salah satunya pendidikan agama Islam.
b.        Melalui Komite Sekolah
Kebijakan yang dikembangkan dalam upaya memperluas kontribusi dan pelibatan masyarakat dalam pendidikan, baik dalam konteks menampung ide dan gagasan untuk pengembangan program sekolah, maupun membantu sekolah dalam kegiatan pembelajaran Komite Sekolah sangatlah penting.
Adapun tugas-tugas Komite Sekolah menurut Dede Rosyada adalah sebagai berikut:
1)       Mengembangkan akses sekolah pada dana, sehingga sekolah mampu membangkitkan berbagai sumber dana potensial untuk memdukung program sekolah, termasuk proses pembelajaran peserta didik.
2)       Mengembangkan budgeting (penganggaran) dalam konteks pengembangan kemampuan pembiayaan untuk mendanai berbagai program sekolah.
3)       Memutuskan struktur anggaran sekolah.
4)       Berpartisipasi dalam pemilihan kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah.
5)       Ikut serta dalam curah pendapat tentang kurikulum dalam konteks peningkatan kualitas hasil pembelajaran, dan memberi masukan-masukan pada sekolah tetang kualifikasi kompetensi peserta didik yang dapat dihasilkan sekolah.[57]
Komite Sekolah mempakan organisasi orang tua peserta didik, yang bertugas dan berfungsi untuk memberikan bantuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Bantuan ini terutama dalam kaitannya dengan bantuan sarana dan prasarana menunjang kegiatan pembelajaran. Untuk kepentingan tersebut, sekolah perlu menyampaikan kekurangan-kekurangan dari program tahunan. Selain itu Komite Sekolah bekerjasama dengan instansi terkait untuk membantu menyukseskan program-program sekolah.[58]
Berikut ini peneliti memberikan contoh tabel tentang struktur hubungan Komite Sekolah dengan instansi terkait dalam melaksanakan tugastugasnya.
Tabel I
DEWAN PENDIDIKAN
Struktur Hubungan Komite Sekolah dengan Instansi Terkait
KOMITE SEKOLAH
SATUAN PENDIDIKAN
INSTANSI LAIN
 




Sumber Data: Hasbullah dalam Otonomi Pendidikan
Keterangan:
--------------  Hubungan koordinatif.[59]
Komite sekolah secara fungsional bertugas membantu menyukseskan program sekolah dan salah satu program sekolah yang rutin dilakukan adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran tidak saja berupa ilmu-ilmu umum, namun juga ilmu-ilmu agama. Dengan demikian Komite Sekolah, merupakan wadah yang membantu peningkatan mutu pendidikan agama Islam di sekolah.
c.         Melalui pertemuan penycrahan buku laporan pendidikan.
Pembagian buku laporan yang dilakukan setiap semesteran dianggap sebagai salah satu pertemuan rutin yang banyak manfaatnya. Dalam penyerahan buku laporan pendidikan, kepala sekolah dan para wali kelas dapat memberikan penjelasan kepada orang tua peserta didik tentang kegiatan pembelajaran pada umumnya, khususnya tentang prestasi peserta didik dan kelemahan-kelemahan yang perlu ditingkatkan orang tua di rumah.[60]
Karena pentingnya penyerahan buku laporan pendidikan tersebut, orang tua seyogyanya tidak mewakilkan kepada orang lain agar secara langsung dapat mendegarkan penjelasan kepala sekolah mengenai perkembangan dan kelemahan belajar anaknya.
d.        Pertemuari nielalui ceramah ilniiah
Ceramah ilmiah dapat diselenggarakan dan dihadiri bersama oleh orang tua peserta didik deiigan para guru. Ceramah yang dilaksanakan dapat membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan peningkatan prestasi peserta didik, misalnya, ceramah tentang masalah disiplin, kenakalan remaja, kelambanan belajar peserta didik dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerjasama orang tua dan guru dalam pembelajaran, meliputi kerjasama dalam perencanaan pembelajaran, peaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan pengembangan program pembelajaran. Hal ini dianggap penting karena dengan kerjasama yang baik, berarti membantu anak atau peserta didik kearah yang positif atau yang lebili baik.


BABV
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, serta hasil deskripsi dan interpretasi data yang peneliti lakukan dalam bab IV, maka peneliti dapat kemukakan beberapa kesimpulan akhir dan penelitian ini sebagai berikut:
1.        Peranan orang tua dalam pembelajaran pendidikan agama Islam sudah berjalan cukup baik, terutama dalam menjalankan perannya sebagai pendidik di rumah dan sebagai relawan yang berkaitan dengan pendanaan. Sebagai pendidik di rumah orang tua sudah mengajarkan anaknya membaca Al-Quran dan melatih shalat fardu. Hal ini menyebabkan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah tidak mengalami banyak kesulitan karena peserta didik telah rnenguasai kompetensi dasar yang ditetapkan oleh guru pendidikan agama Islam. Walaupun demikian, peran orang tua sebagai komunikator dan peran di masyarakat masih perlu ditingkatkan. Sebagai komunikator yang menjalin komunikasi aktif dengan sekolah, peran orang tua masih sebatas menghadiri undangan rapat sekoiah. Hanya sebagian kecil dan orang tua yang aktif mencari perkembangan prestasi anaknya. Begitu juga dengan peran mereka di masyarakat. Orang tua belum banyak terlibat dalam lingkungan yang kondusif. Hal ini menyebabkan kondisi lingkungan masih menjadi salah satu faktor yang menghambat proses pembelajaran. Begitu juga upaya orang tua dalam merigatasi kendala yang menghambat pembelajaran khusunya dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, masih perlu ditingkatkan terutaina komunikasi dengan pihak sekolah. Selama ini hanya sebagian kecil orang tua yang aktif menjalin komunikasi dengan sekolah, padahal komunikasi yang baik antara orang tua dan guru sangat diperlukan demi tercapainya prestasi akademik peserta didik yang diharapkan.
2.        Peranan guru dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran pendidikan againa Islam sudah berjalan cukup baik, terutama dalam melaksanakan pembelajaran dan kegiatan keagamaan di sekolah. Namun peran guru, khususnya guru non pendidikan agama Islam dalam kegiatan keagamaan masih kurang. Oleh karena itu, sebaiknya guru pendidikan agama Islam lebih bersikap proaktif kepada guru non pendidikan agama Islam. Sikap proaktif membuat kepercayaan guru non pendidikan agama Islam menjadi lebih tinggi sehingga kegiatan keagamaan menjadi tanggung jawab bersama.
3.        Secara umum bentuk kerjasama orang tua peserta didik dan guru telah lama ada, apalagi dengan dibentuknya Komite Sekolah sebagai salah satu organisasi mandiri dan masyarakat yang berada di sekolah, yakni untuk membicarakan bagaimana meningkatkan kegiatan pembelajaran terhadap peserta didik, menjaiin hubungan keakraban antara orang tua dan pihak sekolah, serta untuk menampung dan menyalurkan aspirasi orang tua peserta didik. Di SMP Negeri 13 Kendari bentuk kerjasama orang tua dan guru sudah terjalin dengan baik, namun belum optimal. Seperti pada setiap pelaksanaan kegiatan keagamaan oleh pihak sekolah belum seluruhnya orang tua peserta didik menghadiri kegiatan tersebut. Hal inl disebabkan orang tua yang pekerjaanya/mata pencaharianya sebagian berdagang, bertani, dan buruh tani, jadi agak sulit untuk menghadiri kegiatan seperti itu. Namun demikian, sekolah tetap berusaha melibatkan mereka dalam setiap kegiatan, baik pada kegiatan mengenai perencanaan perbaikan sekolah maupun kegiatan peringatan perayaan hari-hari besar Islam. Bentuk lain dalam pembelajaran pendidikan agama Islam adalah melibatkan mereka dalam penyusunan program pembelajaran, terutama dalam penyusunan program pembelajaran pendidikan agama Islam. Sehingga orang tua dapat mengetahui materi apa yang dipelajari anaknya pada setiap harinya. Sebab guru pendidikan agama Islam seperti guru lainnya dalam melaksanakan tugasnya meliputi perencanaan, pelaksana, evaluator, pengembang, namun yang membedakanya hanya masalah inateri pembelajarannya. Guru pendidikan agama Islam merupakan penanggung jawab yang berkaitan dengan pembelajaran pendidikan agama Islam. Sedangkan guru non pendidikan agama Islam bertanggungjawab terhadap materi pembelajarannya, walaupun demikian, guru non pendidikan agama Islam juga dapat mengaitkan materi pembelajaran dengan materi yang bernuansa islami. Hal tersebut, tercermin pada guru non pendidikan agama Islam selalu diikutsertakan dalam pelaksanaan kegiatan kegamaan, baik ekstrakurikuler maupun peringatan hari-hari besar Islam. Sedangkan peran orang tua peserta didik yang meliputi; pendidik di rumah, komunikasi, relawan, pengambil kebijakan, dan peran di masyarakat sangat mendukung kegiatari pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Pendidikan agama Islam tidak berhasil dengan baik, tanpa melibatkan orang tua peserta didik. Apalagi alokasi waktu pembelajaran pendidikan agama Islam sangat terbatas. Oleh karena itu, kerjasama antara orang tua peserta didik dan guru sangat diperlukari.
B.       Implikasi Penelitian
Kerjasama orang tua dan guru dalarn pembelajaran dapat berhasil secara optimal apabila keduanya menjalin komunikasi yang baik. Guru, khususnya guru pendidikan agama Islam perlu bersikap lebih proaktif untuk melibatkan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama. Hal ini didasari masih minimnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan anakriya. Sebagian besar orang tua merasa telah lepas tanggung jawab ketika anaknya telah masuk sekolah. Padahal pembelajaran khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah sangat terbatas. Sikap proaktif guru dilakukan untuk mengoptimalkan peran orang tua sebagai pendidik di rumah dan di masyarakat.
Komite Sekolah merupakan organisasi mandiri dari masyarakat yang berada di sekolah belum berjalan efektif. Karena banyaknya jumlah orang tua peserta didik, tidak dapat ditampung dalam organisasi tersebut, yang hanya terdiri dari 7 sampai dengan 11 anggota atau pengurus. Sudah saatnya dibentuk organisasi orang tua peserta didik per kelas yang dapat mengakomodir aspirasi mereka dan dapat menjadi mediator antara orang tua dan guru, khususnya guru pendidikan agama Islam. Organisasi orang tua peserta didik merupakan sub organisasi dan Komite Sekolah. Agar dapat meningkatkan peran orang tua dan mengefektifkan kerjasama, sebaiknya organisasi orang tua peserta didik di buat berdasarkan masing-masing kelas. Melalui organisasi inilah orang tua peserta didik, wali kelas, dan guru mata pelajaran dapat menjalin kerjasama yang baik. Pembentukan organisasi orang tua yang berbasis kelas dengan alasan bahwa dalam kelas itulah perkembangan peserta didik dapat dipantau oleh wali kelas. Selain itu, pertemuan antara orang tua dan wali kelas selama ini telah dilakukan minimal dua kali dalam setahun, yakni pada saat penyerahan laporan hasil belajar peserta didik.
Di samping itu, orang tua peserta didik semestinya memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan anaknya, agar anak-anaknya menjadi generasi yang lebih baik dari generasi yang ada saat ini.




[1] ‘Lihat, Muhammad Ali al-Hasyimi, Syahsiatu al-Muslim kamaa Yashughuha al-Islam fii al-Kitab wa al-Sunnah, terj. M. Abdul Ghoffar E.M, jadi Diri Muslim (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,1999), h. 96.
[2] Departemen Agama R.I., AJ-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya (Semarang: Karya Toha Putra. 1996), h. 329.
[3] Lihat, Husain Mazhahiri, Tarbiyyah al-thifl fi ar-ruyah aI-ilrnaiyyah’ terj. oleh Segaf Abdillah Assegaf dan Miqdad Turkan, Pintar Mendidik Anak:Panduan Lengkap bagi Orang Tua, Guru, dan Masyarakat berdasarkan Ajaran Islam (Cet. VII; Jakarta: Lentera, 2008), h. 216-2 17
[4] Lihat Zakiah Daradjat, et al., ilmu Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 36.
[5] Mappanganro, Rasyid Ridba dan Pemikirannya tentang Pendidikan Formal (Makassar:
Alauddin Press, 2008), h. 40.
[6] Lihat, Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri (Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 17.
[7] Abu Bajr Abmad bin A1-Husani al-Baihàqiy, Syu’b al Iman, Juz VI (Bairut: Där al-Kutub al-Islamly, 1410 H), h. 397, no. hadis: 8649.
[8] Abu Bakar Abd al-Razzãq bin Hammm aI-San’ániy, Musannaf Abd aI-Razzaq. Juz IV (Bairut: al-Maktabah al-Islamiy, 1403), h. 334, no. hadis: 7977.
[9] Lihat, Abdullah Nisih Ulwan, Tarbiyyah al-A wild fi al-Islam, Jilid I (Cet. I; Mesir: Dar al-Salim li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1993), h. 157.
[10] Lihat Asy-Syaikh Fuhaim Mustafa, MarihiJ al-Tif li al-Muslim; Dalil’ al-Mu’allimin Wa! Aba’Ila al- Tarbiyah Abna’ Fi Riyadi al-A.tfàl Wal Madrasati al-Ibtidaiyah, terj. Abdillah Otid dan Yessi HM. Basyaruddin, Manhaj Pendidikan Anak Muslim (Cet. I; Jakarta: Mustaqiim, 2004), h. 42.
[11] “Lihat. Ahmad Fu’ad al-Abwãñi. al-Tarbiyyah fi al-Islam (Mesir: Dár al-Ma’rif tth), h. 111.
[12] Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain al.Qusyairiy al-Naisiburiy, Sahih Muslim, Juz III (Bairut: Dàr lhya a1-Turas al-’Arabiy, t.th.), h. 1459, no. hadis: 1829.
[13] Lihat, Muhammad Syaifuddin, et al., Manajemen Berbasis Sekolah (Jakarta: Dirjendikti Depdiknas, 2007), h. 11-12.
[14] Lihat, Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantat Pendidikan (Cet. II Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 173.
[15] Lihat, Ace Suryadi, et al., Pendidikasi Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru (Cet. I; Bandung: Ganesindo, 2005), h. 147.
[16] Lihat, Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, t.d.
[17] Republik Indonesia, “Keputusan Mendiknas No. 044/U/2003 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah” dalam Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007), h. 113.
[18] Lihat, Hasbullah, Otonomi Pendidikan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 93.
[19] Lihat, ibid., h. 93.
[20] Lihat, Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetens,) (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 164.
[21] Lihat, E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Mencitakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Cet. VII; Banthing: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 35.
[22] Lihat, ibid., h. 36.
[23] Lihat, ibid., h. 37-38
[24] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21 (Cet. III Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), h. 103.
[25] Lihat, Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar (Cet. IV; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), h. 33.
[26] Lihat, ibid., h. 33-34
[27] Lihat, E. Mulyasa., op. cit, h. 42.
[28] Lihat, ibid., h. 45.
[29] Lihat, Isjoni, Guru sebagai Motivator Perubahan (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 10.
[30] Lihat, ibid., h. 11.
[31] Lihat, Tohirth, op. cit., h. 169.
[32] Lihat, Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 16.
[33] Lihat Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (CeL IV; Jakarta: Kalani Mulia, 2005), h. 58
[34] E. Mulyasa, op. cit., h. 54
[35] Lihat, Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujad Integritas Membangun Jati Diri (Cet. II Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 64.
[36] Lihat Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, op. cit., Bab XI Pasal 39 Ayat 21.
[37] Lihat, Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 25
[38] Lihal, ibid, h. 251.
[39] Lihat, ibid., h. 252
[40] Lihat, Muhibbin Syah, Psikologi Pendithkan dengan Pendekatan Baru (Cet. XI; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 250
[41]  Ibid., h. 250-252
[42] Lihat, M. Ngalim Purwanto, limit Pendidikan Teoretis dan Praktis, Edisi Kedua (Cet. XVIII; Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 124.
[43] Lihat, Hasbullah., op. cit. h. 57
[44] Lihat, Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agarna Islam (Cet. VT; Bandung: Rosdakarya, 2002), h. 128.

[45] Lihat, Mulyono Abdurrahman, Pendidikan bag] Aaak Berkesulitan Belajar (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h, 106
[46] Lihat, M. Ngalim Purwanto, op. cit., h. 128-129.
[47] Lihat, C. Drew Edwards, flow to Handle a Hand to-Handle Kit a Parents’ Guide to Understanding and Changing Problem Behaviors, teij. Oetih F.D., Ketika Anak Sulit Diatur: Panduan bagi Pars Orang Tua untuk Mcngubah Masalah Perilaku Anak (Cet. II Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 226.

[48] Lihat, E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Rosdakarya, 2002), h. 145.
[49] Ibid.. h. 145.
[50] Agnes Tn Harjaningrum, et a!, J’eranan Orang Tim dan Praktisi dalarn Membantu Twnbuh Kembang Anak Berbakat melalul Pemahaman Teori dan Tren Penchthkan (Cot. I; Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 77.
[51] Lihat, S. C. Utami Mtmandar, Mcngcinbangkan Bakat dan Krcativitas Anak Sekolah Petunjuk bagi Para Guru dan Orang Tua (Jakarta; Gramedia, 1985), h. 59
[52] Lihat, E. Mulyasa, op. cit., h.145.
[53] Lihat, ibid., h. 145.
[54] Departemen Agama RI, op.cit., h. 121
[55] Lihat Dede Rosyada, Faradigma Pendidikan Demokratis Sebziab Model Peibalan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pen didikan (Cet. Ill; Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 249.
[56] Lihat, E. Mulyasa, op. cit., h. 144.
[57] Lihat Dede Rosyada, op.cit., h. 259
[58] Lihat, E. Mulyasa, op. cit., h. 144
[59]  Liat Hasbullah, op, cit., h. 101
[60] Lihat, Ibid., h. 144.