Thursday, December 6, 2012

Logika Sekuler dalam Arus Budaya Syahwat

Ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pronoaksi mulai dibahas di DPR-RI, sejumlah kalangan, baik seniman, artis, maupun para pebisnis media porno, angkat bicara sebagai isyarat ketidaksetujuannya.

Mereka berlogika bahwa pornografi-pornoaksi tidak memiliki batasan yang jelas, bahwa karya seni dan estetika tidak bisa diukur dari segi moral karena memiliki nilai sendiri. Bagi kaum agamawan, mungkin foto, adegan gambar, patung, dan karya seni lainnya dinilai melanggar norma agama dan moral, tetapi dunia seniman hal itu merupakan estetika, suatu keindahan. Sedangkan apa yang disebut sebagai dampak negatif dan seronok sangat bergantung pada orangnya. Jika pikiran porno dan seronok itu ada dalam benaknya, maka karya seni itu akan jadi seronok, tetapi jika dipandang secara estetika maka yang muncul adalah aura keindahan.
Jika ditelisik pada argumen yang dikemukakan oleh para pendukung pornografi dan pornoaksi dengan logika estetika dan ketidakjelasan batasan lebih dipengaruhi oleh logika pemikiran sekuler di tengah berkecamuknya keinginan manusia untuk melampiaskan hawa nafsunya. Para pemikir sekuler senantiasa menisbikan nilai-nilai agama dengan logika bebas nilai, relativitas, dan tak bersentuhannya agama dengan kehidupan. Dibolak balik apapun, agama tetap terpisahkan dari kehidupan (fashluddin an al-hayat).
Dalam negara yang dibangun di atas sistem sekuler, agama tidak mendapat peran untuk mengatur masyarakat melalui undang-undang, kecuali sebagian kecil (UU Zakat, UU Pernikahan, UU Miras). Hal ini terjadi karena tolok-ukur yang dipegang adalah ‘kesepakatan’ masyarakat tentang apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Padahal tolok-ukur seperti ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena di manapun masyarakat selalu berubah dan bisa jadi pada suatu saat tidak sadar, bahwa kesepakatan-kesepakatan di antara mereka akan berdampak serius bagi keberlangsungan masyarakat yang selalu disetir oleh para opinion leader (pengendali opini) atau para pembuat pendapat yang tentu sangat memiliki kepentingan tertentu.
Tidak jarang, di suatu negeri, penguasa sengaja mengobral berbagai bentuk maksiat (judi, minuman keras, pornografi/pornoaksi) untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kezaliman mereka. Maka tidak berlebihan, laporan Kantor Berita Associated Press (AP) tahun 2003 lalu yang menempatkan Indonesia pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. Bukankah ketika terbit sebuah buku yang berjudul Jakarta Under Cover orang kemudian tercengang bahwa ternyata Jakarta sudah tidak jauh berbeda dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow, dalam soal pornografi (menyangkut media porno) maupun pornoaksi (menyangkut aksi-aksi porno)?
Contoh paling dekat, di Kota Makassar yang selama ini dikenal sebagai kota Serambi Madinah dengan jumlah penduduk kurang lebih 1,3 juta yang mayoritas muslim, ternyata yang namanya media yang mengumbar aurat perempuan setiap hari bisa kita saksikan secara langsung di sepanjang jalan-jalan protokol. Lalu, apakah hal ini tidak bisa dikatakan porno? Jawabannya pasti akan berbeda jikalau setiap orang diberikan kesempatan untuk membuat definisi secara bebas menurut pikirannya masing-masing. Mungkin ada yang mengatakan, katakanlah si A, bukan porno karena tidak membuat orang terangsang, si B mengatakan porno karena bertentangan budaya bangsa yang dikenal masyarakatnya sangat religius, dan andaikan tetap dipaksakan untuk menjawabnya, jawabannya itu tetap akan saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Antar-generasi pun dapat berbeda sikapnya.
Akhirnya, yang terjadi adalah kebenaran menjadi relatif bergantung pada masa dan tempat. Boleh jadi minuman keras disebut baik pada suatu masa namun buruk pada saat yang lain. Menjadi WTS dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada saat terdesak ekonomi, misalnya. Begitulah seterusnya, perbedaan dan pertentangan terjadi antar-sesama manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan itu-itu juga. Bahkan, seseorang seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda untuk persoalan yang sama pada saat yang berbeda. Itulah realitas manusia. Tegasnya, manusia itu serba lemah lagi serba kurang dan terbatas. Inilah yang disinyalir Allah swt dalam Alquran; “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu melainkan sedikit,” Qs al-Isra (17): 85.
Karena itu, untuk mengakhiri perdebatan masalah batasan pornografi dan pornoaksi yang sudah demikian panjang dan melelahkan ini dibutuhkan sebuah definisi yang dapat disepakati secara bersama tanpa ada embel-embel kepentingan di dalamnya. Di sinilah saya kira perlunya kita menjadikan Islam sebagai tolok-ukur untuk menilai, apakah ini porno atau bukan. Menjadikan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah swt sebagai zat yang paling mengerti akan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan serta apa yang cocok bagi setiap manusia.
Sebagai ilustrasi yang cukup sederhana, bila sebuah motor mengalami kerusakan dan yang punya kemudian membawanya ke bengkel mobil, apakah serta-merta motor rusak tersebut akan membaik dan normal kembali seperti sedia kala? Tentu tidak, karena buku petunjuk yang telah dibuat oleh perusahaan yang membuat kendaraan tersebut untuk memperbaiki kendaraan bermotor yang rodanya dua berbeda dengan mobil yang rodanya adalah empat.
Begitulah kenyataannya kalau manusia mencari petunjuk lain yang dibuat oleh manusia untuk memperbaiki dan mengubah masyarakat. Boleh jadi di satu tempat cocok diterapkan, tetapi di tempat lain tidak. Berbeda dengan Islam, ketika diterapkan akan memberikan ketenangan dan keselamatan hidup di manapun dan kapanpun.
Coba kita lihat, bagaimana Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan pornoaksi, yaitu pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film), baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film atau acara di TV, situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya, yang mengumbar sekaligus menjual aurat. Di sini jelas sekali betapa aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus seperti diskotek dan semacamnya.
Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Dalam pandangan Islam, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Secara fikih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh syariat, misalnya memberikan pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dan sebagainya). Termasuk di dalamnya untuk penyebaran dan perluasan dan propaganda pornografi/pornoaksi yang akan memiliki dampak serius di masyarakat.
Seseorang yang dihadapkan pada suatu media porno, misalnya, memang dipandang belum melakukan aktivitas haram (karena media sebagai benda adalah mubah), tetapi bila orang itu ikut dalam usaha membuat dan/atau menyebarluaskan media porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.
Walau begitu, tidak berarti Islam mengekang kebebasan seseorang untuk berekspresi. Bahkan dalam koridor syariat, Islam mengakui bahwa setiap manusia, apakah ia seorang kiai, artis, maupun seniman memiliki naluri seksual, akan tetapi Islam mengarahkan supaya disalurkan pada tempat yang dihalalkan.
Begitu pula, Islam tidak sekadar menetapkan agar tidak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat, tetapi Islam juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif sehingga setiap orang terjaga untuk tidak mencari nafkah melalui bisnis pornografi dan pornoaksi seperti yang banyak terjadi saat ini. Karena, mekanisme ekonomi berjalan dengan benar dengan cara mengatasi sisi penawaran melalui perbaikan serta masalah permintaan dengan menghilangkan para provokatornya. Tapi jika tetap ada yang nekat melakukannya, maka negara tidak segan-segan menerapkan sanksi represif.
Bukan hanya itu, Islam juga melalui kekuatan negara senantiasa mendidik dan mendorong rakyatnya untuk berpola sikap dan berperilaku Islami. Dari sinilah kemudian media massa, baik cetak maupun elektronik akan diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Termasuk di dalamnya keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya.
Walhasil, memberantas pornografi-pornoaksi yang sudah demikian menggurita di tengah arus budaya syahwat saat ini tak bisa sepotong-sepotong, namun harus menyeluruh. Ini tidak bisa tidak harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni dengan menghentikan laju sistem hukum sekuler dan kemudian menggantinya dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bi ash- shawab.

Ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pronoaksi mulai dibahas di DPR-RI, sejumlah kalangan, baik seniman, artis, maupun para pebisnis media porno, angkat bicara sebagai isyarat ketidaksetujuannya.
Mereka berlogika bahwa pornografi-pornoaksi tidak memiliki batasan yang jelas, bahwa karya seni dan estetika tidak bisa diukur dari segi moral karena memiliki nilai sendiri. Bagi kaum agamawan, mungkin foto, adegan gambar, patung, dan karya seni lainnya dinilai melanggar norma agama dan moral, tetapi dunia seniman hal itu merupakan estetika, suatu keindahan. Sedangkan apa yang disebut sebagai dampak negatif dan seronok sangat bergantung pada orangnya. Jika pikiran porno dan seronok itu ada dalam benaknya, maka karya seni itu akan jadi seronok, tetapi jika dipandang secara estetika maka yang muncul adalah aura keindahan.
Jika ditelisik pada argumen yang dikemukakan oleh para pendukung pornografi dan pornoaksi dengan logika estetika dan ketidakjelasan batasan lebih dipengaruhi oleh logika pemikiran sekuler di tengah berkecamuknya keinginan manusia untuk melampiaskan hawa nafsunya. Para pemikir sekuler senantiasa menisbikan nilai-nilai agama dengan logika bebas nilai, relativitas, dan tak bersentuhannya agama dengan kehidupan. Dibolak balik apapun, agama tetap terpisahkan dari kehidupan (fashluddin an al-hayat).
Dalam negara yang dibangun di atas sistem sekuler, agama tidak mendapat peran untuk mengatur masyarakat melalui undang-undang, kecuali sebagian kecil (UU Zakat, UU Pernikahan, UU Miras). Hal ini terjadi karena tolok-ukur yang dipegang adalah ‘kesepakatan’ masyarakat tentang apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Padahal tolok-ukur seperti ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena di manapun masyarakat selalu berubah dan bisa jadi pada suatu saat tidak sadar, bahwa kesepakatan-kesepakatan di antara mereka akan berdampak serius bagi keberlangsungan masyarakat yang selalu disetir oleh para opinion leader (pengendali opini) atau para pembuat pendapat yang tentu sangat memiliki kepentingan tertentu.
Tidak jarang, di suatu negeri, penguasa sengaja mengobral berbagai bentuk maksiat (judi, minuman keras, pornografi/pornoaksi) untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kezaliman mereka. Maka tidak berlebihan, laporan Kantor Berita Associated Press (AP) tahun 2003 lalu yang menempatkan Indonesia pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. Bukankah ketika terbit sebuah buku yang berjudul Jakarta Under Cover orang kemudian tercengang bahwa ternyata Jakarta sudah tidak jauh berbeda dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow, dalam soal pornografi (menyangkut media porno) maupun pornoaksi (menyangkut aksi-aksi porno)?
Contoh paling dekat, di Kota Makassar yang selama ini dikenal sebagai kota Serambi Madinah dengan jumlah penduduk kurang lebih 1,3 juta yang mayoritas muslim, ternyata yang namanya media yang mengumbar aurat perempuan setiap hari bisa kita saksikan secara langsung di sepanjang jalan-jalan protokol. Lalu, apakah hal ini tidak bisa dikatakan porno? Jawabannya pasti akan berbeda jikalau setiap orang diberikan kesempatan untuk membuat definisi secara bebas menurut pikirannya masing-masing. Mungkin ada yang mengatakan, katakanlah si A, bukan porno karena tidak membuat orang terangsang, si B mengatakan porno karena bertentangan budaya bangsa yang dikenal masyarakatnya sangat religius, dan andaikan tetap dipaksakan untuk menjawabnya, jawabannya itu tetap akan saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Antar-generasi pun dapat berbeda sikapnya.
Akhirnya, yang terjadi adalah kebenaran menjadi relatif bergantung pada masa dan tempat. Boleh jadi minuman keras disebut baik pada suatu masa namun buruk pada saat yang lain. Menjadi WTS dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada saat terdesak ekonomi, misalnya. Begitulah seterusnya, perbedaan dan pertentangan terjadi antar-sesama manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan itu-itu juga. Bahkan, seseorang seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda untuk persoalan yang sama pada saat yang berbeda. Itulah realitas manusia. Tegasnya, manusia itu serba lemah lagi serba kurang dan terbatas. Inilah yang disinyalir Allah swt dalam Alquran; “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu melainkan sedikit,” Qs al-Isra (17): 85.
Karena itu, untuk mengakhiri perdebatan masalah batasan pornografi dan pornoaksi yang sudah demikian panjang dan melelahkan ini dibutuhkan sebuah definisi yang dapat disepakati secara bersama tanpa ada embel-embel kepentingan di dalamnya. Di sinilah saya kira perlunya kita menjadikan Islam sebagai tolok-ukur untuk menilai, apakah ini porno atau bukan. Menjadikan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah swt sebagai zat yang paling mengerti akan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan serta apa yang cocok bagi setiap manusia.
Sebagai ilustrasi yang cukup sederhana, bila sebuah motor mengalami kerusakan dan yang punya kemudian membawanya ke bengkel mobil, apakah serta-merta motor rusak tersebut akan membaik dan normal kembali seperti sedia kala? Tentu tidak, karena buku petunjuk yang telah dibuat oleh perusahaan yang membuat kendaraan tersebut untuk memperbaiki kendaraan bermotor yang rodanya dua berbeda dengan mobil yang rodanya adalah empat.
Begitulah kenyataannya kalau manusia mencari petunjuk lain yang dibuat oleh manusia untuk memperbaiki dan mengubah masyarakat. Boleh jadi di satu tempat cocok diterapkan, tetapi di tempat lain tidak. Berbeda dengan Islam, ketika diterapkan akan memberikan ketenangan dan keselamatan hidup di manapun dan kapanpun.
Coba kita lihat, bagaimana Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan pornoaksi, yaitu pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film), baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film atau acara di TV, situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya, yang mengumbar sekaligus menjual aurat. Di sini jelas sekali betapa aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus seperti diskotek dan semacamnya.
Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Dalam pandangan Islam, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Secara fikih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh syariat, misalnya memberikan pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dan sebagainya). Termasuk di dalamnya untuk penyebaran dan perluasan dan propaganda pornografi/pornoaksi yang akan memiliki dampak serius di masyarakat.
Seseorang yang dihadapkan pada suatu media porno, misalnya, memang dipandang belum melakukan aktivitas haram (karena media sebagai benda adalah mubah), tetapi bila orang itu ikut dalam usaha membuat dan/atau menyebarluaskan media porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.
Walau begitu, tidak berarti Islam mengekang kebebasan seseorang untuk berekspresi. Bahkan dalam koridor syariat, Islam mengakui bahwa setiap manusia, apakah ia seorang kiai, artis, maupun seniman memiliki naluri seksual, akan tetapi Islam mengarahkan supaya disalurkan pada tempat yang dihalalkan.
Begitu pula, Islam tidak sekadar menetapkan agar tidak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat, tetapi Islam juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif sehingga setiap orang terjaga untuk tidak mencari nafkah melalui bisnis pornografi dan pornoaksi seperti yang banyak terjadi saat ini. Karena, mekanisme ekonomi berjalan dengan benar dengan cara mengatasi sisi penawaran melalui perbaikan serta masalah permintaan dengan menghilangkan para provokatornya. Tapi jika tetap ada yang nekat melakukannya, maka negara tidak segan-segan menerapkan sanksi represif.
Bukan hanya itu, Islam juga melalui kekuatan negara senantiasa mendidik dan mendorong rakyatnya untuk berpola sikap dan berperilaku Islami. Dari sinilah kemudian media massa, baik cetak maupun elektronik akan diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Termasuk di dalamnya keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya.
Walhasil, memberantas pornografi-pornoaksi yang sudah demikian menggurita di tengah arus budaya syahwat saat ini tak bisa sepotong-sepotong, namun harus menyeluruh. Ini tidak bisa tidak harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni dengan menghentikan laju sistem hukum sekuler dan kemudian menggantinya dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bi ash- shawab.