Ketika Rancangan Undang-Undang (RUU)
Anti Pornografi dan Pronoaksi mulai dibahas di DPR-RI, sejumlah kalangan, baik
seniman, artis, maupun para pebisnis media porno, angkat bicara sebagai isyarat
ketidaksetujuannya.
Ketika Rancangan Undang-Undang (RUU)
Anti Pornografi dan Pronoaksi mulai dibahas di DPR-RI, sejumlah kalangan, baik
seniman, artis, maupun para pebisnis media porno, angkat bicara sebagai isyarat
ketidaksetujuannya.
Mereka berlogika bahwa
pornografi-pornoaksi tidak memiliki batasan yang jelas, bahwa karya seni dan
estetika tidak bisa diukur dari segi moral karena memiliki nilai sendiri. Bagi
kaum agamawan, mungkin foto, adegan gambar, patung, dan karya seni lainnya
dinilai melanggar norma agama dan moral, tetapi dunia seniman hal itu merupakan
estetika, suatu keindahan. Sedangkan apa yang disebut sebagai dampak negatif
dan seronok sangat bergantung pada orangnya. Jika pikiran porno dan seronok itu
ada dalam benaknya, maka karya seni itu akan jadi seronok, tetapi jika
dipandang secara estetika maka yang muncul adalah aura keindahan.
Jika ditelisik pada argumen yang
dikemukakan oleh para pendukung pornografi dan pornoaksi dengan logika estetika
dan ketidakjelasan batasan lebih dipengaruhi oleh logika pemikiran sekuler di
tengah berkecamuknya keinginan manusia untuk melampiaskan hawa nafsunya. Para
pemikir sekuler senantiasa menisbikan nilai-nilai agama dengan logika bebas
nilai, relativitas, dan tak bersentuhannya agama dengan kehidupan. Dibolak
balik apapun, agama tetap terpisahkan dari kehidupan (fashluddin an al-hayat).
Dalam negara yang dibangun di atas
sistem sekuler, agama tidak mendapat peran untuk mengatur masyarakat melalui
undang-undang, kecuali sebagian kecil (UU Zakat, UU Pernikahan, UU Miras). Hal
ini terjadi karena tolok-ukur yang dipegang adalah ‘kesepakatan’ masyarakat
tentang apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Padahal tolok-ukur seperti
ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena di manapun masyarakat selalu
berubah dan bisa jadi pada suatu saat tidak sadar, bahwa
kesepakatan-kesepakatan di antara mereka akan berdampak serius bagi
keberlangsungan masyarakat yang selalu disetir oleh para opinion leader
(pengendali opini) atau para pembuat pendapat yang tentu sangat memiliki
kepentingan tertentu.
Tidak jarang, di suatu negeri,
penguasa sengaja mengobral berbagai bentuk maksiat (judi, minuman keras,
pornografi/pornoaksi) untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kezaliman
mereka. Maka tidak berlebihan, laporan Kantor Berita Associated Press (AP)
tahun 2003 lalu yang menempatkan Indonesia pada urutan kedua setelah Rusia yang
menjadi surga bagi pornografi. Bukankah ketika terbit sebuah buku yang berjudul
Jakarta Under Cover orang kemudian tercengang bahwa ternyata Jakarta sudah
tidak jauh berbeda dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow, dalam soal pornografi
(menyangkut media porno) maupun pornoaksi (menyangkut aksi-aksi porno)?
Contoh paling dekat, di Kota
Makassar yang selama ini dikenal sebagai kota Serambi Madinah dengan jumlah
penduduk kurang lebih 1,3 juta yang mayoritas muslim, ternyata yang namanya
media yang mengumbar aurat perempuan setiap hari bisa kita saksikan secara
langsung di sepanjang jalan-jalan protokol. Lalu, apakah hal ini tidak bisa
dikatakan porno? Jawabannya pasti akan berbeda jikalau setiap orang diberikan
kesempatan untuk membuat definisi secara bebas menurut pikirannya
masing-masing. Mungkin ada yang mengatakan, katakanlah si A, bukan porno karena
tidak membuat orang terangsang, si B mengatakan porno karena bertentangan
budaya bangsa yang dikenal masyarakatnya sangat religius, dan andaikan tetap
dipaksakan untuk menjawabnya, jawabannya itu tetap akan saling berbeda antara
satu orang dengan orang lain. Antar-generasi pun dapat berbeda sikapnya.
Akhirnya, yang terjadi adalah
kebenaran menjadi relatif bergantung pada masa dan tempat. Boleh jadi minuman
keras disebut baik pada suatu masa namun buruk pada saat yang lain. Menjadi WTS
dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada saat terdesak
ekonomi, misalnya. Begitulah seterusnya, perbedaan dan pertentangan terjadi antar-sesama
manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan itu-itu juga. Bahkan, seseorang
seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda untuk persoalan yang
sama pada saat yang berbeda. Itulah realitas manusia. Tegasnya, manusia itu
serba lemah lagi serba kurang dan terbatas. Inilah yang disinyalir Allah swt
dalam Alquran; “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu melainkan sedikit,” Qs
al-Isra (17): 85.
Karena itu, untuk mengakhiri
perdebatan masalah batasan pornografi dan pornoaksi yang sudah demikian panjang
dan melelahkan ini dibutuhkan sebuah definisi yang dapat disepakati secara
bersama tanpa ada embel-embel kepentingan di dalamnya. Di sinilah saya kira
perlunya kita menjadikan Islam sebagai tolok-ukur untuk menilai, apakah ini
porno atau bukan. Menjadikan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah swt
sebagai zat yang paling mengerti akan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan
serta apa yang cocok bagi setiap manusia.
Sebagai ilustrasi yang cukup
sederhana, bila sebuah motor mengalami kerusakan dan yang punya kemudian
membawanya ke bengkel mobil, apakah serta-merta motor rusak tersebut akan
membaik dan normal kembali seperti sedia kala? Tentu tidak, karena buku
petunjuk yang telah dibuat oleh perusahaan yang membuat kendaraan tersebut
untuk memperbaiki kendaraan bermotor yang rodanya dua berbeda dengan mobil yang
rodanya adalah empat.
Begitulah kenyataannya kalau manusia
mencari petunjuk lain yang dibuat oleh manusia untuk memperbaiki dan mengubah
masyarakat. Boleh jadi di satu tempat cocok diterapkan, tetapi di tempat lain
tidak. Berbeda dengan Islam, ketika diterapkan akan memberikan ketenangan dan
keselamatan hidup di manapun dan kapanpun.
Coba kita lihat, bagaimana Islam
memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan
pornoaksi, yaitu pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film), baik
dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film atau acara di TV, situs porno di
internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya, yang mengumbar sekaligus menjual
aurat. Di sini jelas sekali betapa aurat menjadi titik pusat perhatian.
Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan
ditonton secara langsung mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para
artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif
seperti telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus
seperti diskotek dan semacamnya.
Tentu saja, dalam konteks pornografi
dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut
syariat Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian
bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Dalam
pandangan Islam, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak
tangan.
Secara fikih, menyaksikan secara
langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah haram, kecuali
untuk tujuan yang dibolehkan oleh syariat, misalnya memberikan pertolongan
medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah
gaya, sutradara, dan sebagainya). Termasuk di dalamnya untuk penyebaran dan
perluasan dan propaganda pornografi/pornoaksi yang akan memiliki dampak serius
di masyarakat.
Seseorang yang dihadapkan pada suatu
media porno, misalnya, memang dipandang belum melakukan aktivitas haram (karena
media sebagai benda adalah mubah), tetapi bila orang itu ikut dalam usaha
membuat dan/atau menyebarluaskan media porno, maka menurut syariat, dia
dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.
Walau begitu, tidak berarti Islam
mengekang kebebasan seseorang untuk berekspresi. Bahkan dalam koridor syariat,
Islam mengakui bahwa setiap manusia, apakah ia seorang kiai, artis, maupun
seniman memiliki naluri seksual, akan tetapi Islam mengarahkan supaya
disalurkan pada tempat yang dihalalkan.
Begitu pula, Islam tidak sekadar
menetapkan agar tidak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat,
tetapi Islam juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif sehingga setiap
orang terjaga untuk tidak mencari nafkah melalui bisnis pornografi dan
pornoaksi seperti yang banyak terjadi saat ini. Karena, mekanisme ekonomi
berjalan dengan benar dengan cara mengatasi sisi penawaran melalui perbaikan
serta masalah permintaan dengan menghilangkan para provokatornya. Tapi jika
tetap ada yang nekat melakukannya, maka negara tidak segan-segan menerapkan
sanksi represif.
Bukan hanya itu, Islam juga melalui
kekuatan negara senantiasa mendidik dan mendorong rakyatnya untuk berpola sikap
dan berperilaku Islami. Dari sinilah kemudian media massa, baik cetak maupun
elektronik akan diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan
stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Termasuk di
dalamnya keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang
pertemuan pelaku kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya.
Walhasil, memberantas
pornografi-pornoaksi yang sudah demikian menggurita di tengah arus budaya
syahwat saat ini tak bisa sepotong-sepotong, namun harus menyeluruh. Ini tidak
bisa tidak harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni dengan menghentikan
laju sistem hukum sekuler dan kemudian menggantinya dengan sistem Islam.
Wallahu a’lam bi ash- shawab.
Mereka berlogika bahwa
pornografi-pornoaksi tidak memiliki batasan yang jelas, bahwa karya seni dan
estetika tidak bisa diukur dari segi moral karena memiliki nilai sendiri. Bagi
kaum agamawan, mungkin foto, adegan gambar, patung, dan karya seni lainnya
dinilai melanggar norma agama dan moral, tetapi dunia seniman hal itu merupakan
estetika, suatu keindahan. Sedangkan apa yang disebut sebagai dampak negatif
dan seronok sangat bergantung pada orangnya. Jika pikiran porno dan seronok itu
ada dalam benaknya, maka karya seni itu akan jadi seronok, tetapi jika
dipandang secara estetika maka yang muncul adalah aura keindahan.
Jika ditelisik pada argumen yang
dikemukakan oleh para pendukung pornografi dan pornoaksi dengan logika estetika
dan ketidakjelasan batasan lebih dipengaruhi oleh logika pemikiran sekuler di
tengah berkecamuknya keinginan manusia untuk melampiaskan hawa nafsunya. Para
pemikir sekuler senantiasa menisbikan nilai-nilai agama dengan logika bebas
nilai, relativitas, dan tak bersentuhannya agama dengan kehidupan. Dibolak
balik apapun, agama tetap terpisahkan dari kehidupan (fashluddin an al-hayat).
Dalam negara yang dibangun di atas
sistem sekuler, agama tidak mendapat peran untuk mengatur masyarakat melalui
undang-undang, kecuali sebagian kecil (UU Zakat, UU Pernikahan, UU Miras). Hal
ini terjadi karena tolok-ukur yang dipegang adalah ‘kesepakatan’ masyarakat
tentang apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Padahal tolok-ukur seperti
ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena di manapun masyarakat selalu
berubah dan bisa jadi pada suatu saat tidak sadar, bahwa
kesepakatan-kesepakatan di antara mereka akan berdampak serius bagi
keberlangsungan masyarakat yang selalu disetir oleh para opinion leader
(pengendali opini) atau para pembuat pendapat yang tentu sangat memiliki
kepentingan tertentu.
Tidak jarang, di suatu negeri,
penguasa sengaja mengobral berbagai bentuk maksiat (judi, minuman keras,
pornografi/pornoaksi) untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kezaliman
mereka. Maka tidak berlebihan, laporan Kantor Berita Associated Press (AP)
tahun 2003 lalu yang menempatkan Indonesia pada urutan kedua setelah Rusia yang
menjadi surga bagi pornografi. Bukankah ketika terbit sebuah buku yang berjudul
Jakarta Under Cover orang kemudian tercengang bahwa ternyata Jakarta sudah
tidak jauh berbeda dengan Paris, Amsterdam, atau Moskow, dalam soal pornografi
(menyangkut media porno) maupun pornoaksi (menyangkut aksi-aksi porno)?
Contoh paling dekat, di Kota
Makassar yang selama ini dikenal sebagai kota Serambi Madinah dengan jumlah
penduduk kurang lebih 1,3 juta yang mayoritas muslim, ternyata yang namanya
media yang mengumbar aurat perempuan setiap hari bisa kita saksikan secara
langsung di sepanjang jalan-jalan protokol. Lalu, apakah hal ini tidak bisa
dikatakan porno? Jawabannya pasti akan berbeda jikalau setiap orang diberikan
kesempatan untuk membuat definisi secara bebas menurut pikirannya
masing-masing. Mungkin ada yang mengatakan, katakanlah si A, bukan porno karena
tidak membuat orang terangsang, si B mengatakan porno karena bertentangan
budaya bangsa yang dikenal masyarakatnya sangat religius, dan andaikan tetap
dipaksakan untuk menjawabnya, jawabannya itu tetap akan saling berbeda antara
satu orang dengan orang lain. Antar-generasi pun dapat berbeda sikapnya.
Akhirnya, yang terjadi adalah
kebenaran menjadi relatif bergantung pada masa dan tempat. Boleh jadi minuman
keras disebut baik pada suatu masa namun buruk pada saat yang lain. Menjadi WTS
dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada saat terdesak
ekonomi, misalnya. Begitulah seterusnya, perbedaan dan pertentangan terjadi antar-sesama
manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan itu-itu juga. Bahkan, seseorang
seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda untuk persoalan yang
sama pada saat yang berbeda. Itulah realitas manusia. Tegasnya, manusia itu
serba lemah lagi serba kurang dan terbatas. Inilah yang disinyalir Allah swt
dalam Alquran; “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu melainkan sedikit,” Qs
al-Isra (17): 85.
Karena itu, untuk mengakhiri
perdebatan masalah batasan pornografi dan pornoaksi yang sudah demikian panjang
dan melelahkan ini dibutuhkan sebuah definisi yang dapat disepakati secara
bersama tanpa ada embel-embel kepentingan di dalamnya. Di sinilah saya kira
perlunya kita menjadikan Islam sebagai tolok-ukur untuk menilai, apakah ini
porno atau bukan. Menjadikan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah swt
sebagai zat yang paling mengerti akan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan
serta apa yang cocok bagi setiap manusia.
Sebagai ilustrasi yang cukup
sederhana, bila sebuah motor mengalami kerusakan dan yang punya kemudian
membawanya ke bengkel mobil, apakah serta-merta motor rusak tersebut akan
membaik dan normal kembali seperti sedia kala? Tentu tidak, karena buku
petunjuk yang telah dibuat oleh perusahaan yang membuat kendaraan tersebut
untuk memperbaiki kendaraan bermotor yang rodanya dua berbeda dengan mobil yang
rodanya adalah empat.
Begitulah kenyataannya kalau manusia
mencari petunjuk lain yang dibuat oleh manusia untuk memperbaiki dan mengubah
masyarakat. Boleh jadi di satu tempat cocok diterapkan, tetapi di tempat lain
tidak. Berbeda dengan Islam, ketika diterapkan akan memberikan ketenangan dan
keselamatan hidup di manapun dan kapanpun.
Coba kita lihat, bagaimana Islam
memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan
pornoaksi, yaitu pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film), baik
dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film atau acara di TV, situs porno di
internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya, yang mengumbar sekaligus menjual
aurat. Di sini jelas sekali betapa aurat menjadi titik pusat perhatian.
Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan
ditonton secara langsung mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para
artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif
seperti telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus
seperti diskotek dan semacamnya.
Tentu saja, dalam konteks pornografi
dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut
syariat Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian
bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Dalam
pandangan Islam, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak
tangan.
Secara fikih, menyaksikan secara
langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah haram, kecuali
untuk tujuan yang dibolehkan oleh syariat, misalnya memberikan pertolongan
medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah
gaya, sutradara, dan sebagainya). Termasuk di dalamnya untuk penyebaran dan
perluasan dan propaganda pornografi/pornoaksi yang akan memiliki dampak serius
di masyarakat.
Seseorang yang dihadapkan pada suatu
media porno, misalnya, memang dipandang belum melakukan aktivitas haram (karena
media sebagai benda adalah mubah), tetapi bila orang itu ikut dalam usaha
membuat dan/atau menyebarluaskan media porno, maka menurut syariat, dia
dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.
Walau begitu, tidak berarti Islam
mengekang kebebasan seseorang untuk berekspresi. Bahkan dalam koridor syariat,
Islam mengakui bahwa setiap manusia, apakah ia seorang kiai, artis, maupun
seniman memiliki naluri seksual, akan tetapi Islam mengarahkan supaya
disalurkan pada tempat yang dihalalkan.
Begitu pula, Islam tidak sekadar
menetapkan agar tidak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat,
tetapi Islam juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif sehingga setiap
orang terjaga untuk tidak mencari nafkah melalui bisnis pornografi dan
pornoaksi seperti yang banyak terjadi saat ini. Karena, mekanisme ekonomi
berjalan dengan benar dengan cara mengatasi sisi penawaran melalui perbaikan
serta masalah permintaan dengan menghilangkan para provokatornya. Tapi jika
tetap ada yang nekat melakukannya, maka negara tidak segan-segan menerapkan
sanksi represif.
Bukan hanya itu, Islam juga melalui
kekuatan negara senantiasa mendidik dan mendorong rakyatnya untuk berpola sikap
dan berperilaku Islami. Dari sinilah kemudian media massa, baik cetak maupun
elektronik akan diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan
stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Termasuk di
dalamnya keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang
pertemuan pelaku kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya.
Walhasil, memberantas
pornografi-pornoaksi yang sudah demikian menggurita di tengah arus budaya
syahwat saat ini tak bisa sepotong-sepotong, namun harus menyeluruh. Ini tidak
bisa tidak harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni dengan menghentikan
laju sistem hukum sekuler dan kemudian menggantinya dengan sistem Islam.
Wallahu a’lam bi ash- shawab.